Pribumisasi Islam ala Gus Dur
Pribumisasi Islam ala Gus Dur
Oleh: Suharsono
Pribumisasi Islam yang digagas Gus Dur merupakan upaya dakwah dan pola amar ma’ruf nahi munkar yang diselaraskan dengan konsep mabadi’ khaira ummah. Pelaksanaan konkretnya adalah menasionalisasikan perjuangan Islam, dengan harapan tak ada lagi kesenjangan antara kepentingan nasional dengan kepentingan Islam. Islam haruslah senantiasa memberikan kontribusi dalam menjawab masalah yang timbul akibat proses modernisasi. Mengapa demikian? Karena ajaran agama mempunyai peran yang penting dalam berbagai segi kehidupan pemeluknya. Dalam Q.S. Ibrahim ayat 1 bahwa Allah SWT telah berfirman sebagai berikut:
Yang artinya bahwa: “Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji” (Q.S. Ibrahim: 1)
Konsep pribumusasi Islam yang diusung oleh Gus Dur tentunya ingin memberikan cara pandang dalam menyikapi dan memahami agama tidak hanya dari luarnya saja, atau dalam hal ini Islam memang datang dari negara Arab, akan tetapi nilai Islam yang perlu ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan budaya Arab yang harus disamaratakan dan diterapkan dalam kehidupan beragama. Kalau Islam dimaknai sebagai agama Arab dan mengikuti budaya Arab, maka nilai-nilai sosial yang diajarkan oleh Islam akan terasa sempit jadinya. Gus Dur hadir di tengah-tengah masyarakat untuk memberi jalan tengah bahwa Islam hadir sebagai rahmatan lil ‘alamiin (rahmat bagi semesta alam) dan sebagai agama yang mampu menanamkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan yang majemuk dan plural.
Gagasan ”Pribumisasi Islam” dipaparkan dalam dua tulisan Gus Dur yaitu tulisan yang berjudul ”Salahkah jika dipribumikan?”, kolomnya di majalah Tempo pada 16 Juli 1983, dan kedua, ”Pribumisasi Islam”, antologi tulisan dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh. Gagasan ”pribumisasi Islam” dimaksudkan Gus Dur sebagai jawaban atas problema yang dihadapi umat Islam sepanjang sejarahnya, yakni bagaimana mempertemukan budaya (adat) dengan norma (syariah), sebagaimana juga menjadi persoalan dalam ushul fiqh. Berkaitan dengan ide pribumisasi Islam,
Gus Dur berargumen bahwa agama Islam dan budaya mempunyai independensi masing-masing. Akan tetapi keduanya mempunyai wilayah yang tumpang tindih. Agama Islam bersumberkan wahyu dan memiliki normanya sendiri. Karena bersifat normatif, maka ia cenderung permanen atau tetap. Sedangkan budaya adalah buatan manusia, karena ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung untuk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Di sinilah adanya akomodasi atau rekonsiliasi. Proses itu harus dilakukan secara alami, bukan terpaksa dan itulah terjadinya pribumisasi. Proses pertumbuhan Islam sejak Nabi Muhammad SAW, sahabat, para ulama, tidak serta merta menolak semua tradisi pra Islam (dalam hal ini budaya masyarakat Arab pra-Islam). Demikian juga proses pertumbuhan Islam di Indonesia tidak dapat lepas dari budaya dan tradisi masyarakat setempat atau bisa kita sebut sebagai pribumi.
Agama dan budaya bagaikan uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Agama (Islam) bersumberkan wahyu yang bersifat normatif, maka cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya merupakan ciptaan manusia, oleh sebab itu perkembangannya mengikuti zaman dan cenderung untuk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Menurut Gus Dur, tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus-menerus. Ini justru suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang maupun tandus. Kekayaan dan keberagaman variasi budaya memungkinkan adanya persambungan antar berbagai kelompok atas dasar persamaan. Upaya pribumisasi Islam, rekonsiliasi antara budaya dan agama, bukan karena kekhawatiran terjadinya ketegangan antara keduanya. Sebab kalau manusia dibiarkan pada fitrah rasionalnya, ketegangan seperti itu akan reda dengan sendirinya. Sebagai contoh redanya semangat ulama dalam mempersoalkan rambut gondrong, merokok bagi laki-laki, dan lain sebagainya.
Yogyakarta, 21 Juni 2023