Jika kita meminjam khasanah ilmu biologi maka kita akan tahu bahwa setiap individu itu terlahir dari bayi kemudian mengalami pertumbuhan yakni mulai bisa merangkak, lalu berjalan, bahkan kemudian sudah bisa lari terus sampai pada batas yang maksimal seseorang mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara biologis. Nah dari biologilah kita bisa tahu bahwa kita ini makhluk yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Kemudian secara psikolosis kita juga mendapatkan pemahaman bahwa asumsinya manusia itu juga mengalami pertumbuhan secara pikiran, mental, karakter, dan lain sebagainya sehingga ada kata yang biasanya digunakan yaitu kedewasaan atau kematangan, bahkan secara spesifik disebut sebagai kematangan spiritual. Tapi kedual hal tersebut mungkin ada perbedaannya, yakni kalau pertumbuhan biologi maka kita akan berakhir (dengan sebab tua lalu meninggal). Nah lantas bagaimana dengan pertumbuhan spiritual, apakah ada batasnya ataukah pada saat usia berapa kita diasumsikan harus matang? Belum lagi nanti kalau kita melihat pertumbuhan individu kita dalam konteks spiritual itu seperti apa. pada titik ini sebenarnya ada banyak sub-sub pertanyaan dan bisa kita kaitkan dengan bahwa agama itu melalui tasawuf, melalui ajaran akhlaknya, melalui perintah dari Allah untuk kita belajar kepada Nabi/sirah Nabi, yakni bagaimana kita mendayagunakan atau memanfaatkan semua ilmu dari agama itu untuk membentuk spiritual kita, dan ini bukan hal yang sangat menyeramkan tapi hal yang biasa dilalui sehari-hari. Nah lantas apa yang dimaksud pertumbuhan spiritual?
Sebenarnya pertanyaan tersebut telah menunjukkan pada sebuah asumsi bahwa hal itu merupakan masalah yang sangat luas dan tinggi, seperti ilmu yang tidak semua orang bisa menjangkau. Mohon yang disebut pertumbuhan spiritual atau perjalanan menuju Allah “Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un” itu sebenarnya pekerjaan sehari-hari setiap orang dan setiap makhluk. Jadi jangan kita gambarkan seolah-olah ilmu yang sangat tinggi. Sebenarnya kalau kita mau mengamati, ada sesuatu yang bisa kita identifikasi dan ada yang tidak bisa. Perjalanan spiritual atau perkembangan kedewasaan spiritual itu merupakan sesuatu yang tidak bisa dipotret dan tidak bisa diklaim, yang bisa melihat hanya dirinya sendri dan dirinya sendiri juga tidak boleh mengklaim. Makannya Allah menyediakan tawadhu’ atau kerendahan hati dan seterusnya karena kalau ibaratnya lari 200 meter kan startnya sama finishnya itu jelas, sedangkan kalau pertumbuhan spiritual itu finishnya adalah kedekatan dengan Allah. Semakin seseorang dekat dengan Allah maka ia menempuh Ilaihi raaji’un, dan itu setiap orang. Maka skalanya adalah dari dan menuju, tapi itu satu titik, sehingga kalau digambarkan akan melingkar berputar yakni dari titik ini menuju titik ini dan hal itu tentu pasti dialami oleh semua orang sehingga tidak ada urusannya dengan kepandaian tapi urusan kesungguhan, urusan keikhlasan, urusan ketulusan hati, urusan kejujuran pikiran, dan itu tidak perlu orang pintar. Nah sebenarnya yang mengganggu dunia ini kan para inteletual-intelektual karena manusia menjadi kehilangan fokusnya bahwa manusia itu urusannya adalah jujur ataukah tidak dalam perjalanannya. Nah karena sekarang kita berurusan dengan ilmu terus kita menganggap bahwa diskusi ini seolah-olah adalah diskusi ilmu yang juga tinggi seolah-olah padahal kan itu sehari-harinya setiap orang. Misalnya kalau kamu jalan lalu kamu melihat ada pohon yang ada daun dan bunganya itu sebenarnya fakta daun atau pohon itu ada di sana yang kamu lihat atau di dalam batinmu? Nah yang selama ini dibicarakan di dalam desertasi atau ilmu-ilmu akal pikiran itu adalah pohon itu di sana, padahal pohon itu faktanya ada di dalam batinmu. Meskipun pohon itu ada di sana tapi kalau dia tidak menjadi fakta di dalam batinmu maka pohon itu menjadi tidak ada. Makannya ada dalil yang mengatakan, “Man ‘arafa nafashu fa qad ‘arafa Rabbahu” karena Allah hadir sudah sebagai kesadaran batin, sudah dirasakan setiap hari, dan itu bukan ilmu tinggi alias biasa-biasa saja karena setiap orang memang menempuh jalan kembali kepada Allah dan itu jalan satu-satunya, yakni dari Allah menuju Allah. Makannya kalau manusia itu ingin aman, ingin tenang, ingin sejahtera, ingin selamat di dalam seluruh perjalanannya dan tiba sampai tempatnya dalam keadaan aman, tentram, selamat dan sejahtera ya itulah satu-satunya jalan. Nah ilaihi raaji’un ini kan tidak bisa dipotret, tidak bisa direportase, dan tidak bisa diupload-upload karena sebenarnya itu rahasia setiap orang. Oleh karena itu sebenarnya ketika berbicara mengenai pohon tadi, mengenai tasawuf atau sufisme, itu kan sempat dianggap bahwa itu adalah bagian dari gerakan yang bukan Islam karena di dalam Islam tidak ada ajaran tasawuf itu karena dia melihat pohon di sana, dia tidak melihat esensi pohon itu di dalam dirinya. Perlu diketahui pula bahwa tasawuf itu kan cuman penamaan suatu hal, suatu gejala atau suatu fakta yang ada di dalam batin kita lalu kita rumuskan, kita identifikasi, kita amati, dan kita rasakan prosesnya. Jika cara berpikir seseorang itu seperti tadi maka ilmu itu adanya hanya di perpustakaan dan buku-buku tidak di dalam diri. Nah jadi tasawuf itu adalah benar-benar urusan yang sangat privasi atau rahasia setiap orang menuju Tuhannya, dan itu setiap orang. Semua perjalanan hidup kita adalah jalan menuju Allah. Makanya semuanya itu disebut thariqat, apakah tukang kayu, apakah ojek, apakah dagang di pasar, apakah petani, apakah dosen di kampus atau siapapun itu semuanya melakukan semacam perjalanan yang disebut thariqat. Nah selama ini kemudian thariqat dilembagakan atau dipadatkan menjadi wiridtan begini dan begini atau puasa begitu, begitu dan seterusnya. Ini tidak salah tetapi yang tidak tepat adalah bahwa ini seolah-olah merupakan jalan yang berbeda dengan Islam. Jadi Islam itu ya tasawuf karena prinsip Islam itu adalah kamu dari Allah kembali ke Allah, dan itu kamu tempuh dalam jalan sunyimu masing-masing.
Kalau kita melihat dari prespektif yang barusan diterangkan maka boleh jadi di mata Allah sebenarnya setiap individu itu sufi-sufi baik disadari maupun tidak, meskipun kamu tidak mengakui Tuhan kamu akan tetap berjalan di situ, kamu akan sampai ke kematian, kamu akan sampai ke surga atau neraka dan itu mau tidak mau. Terserah mau bersyahadat ataukah tidak, terserah mau Islam ataukah tidak. Makanya Islam itu bukan yang dari Arab namun Islam itu yang kamu temukan di dalam dirimu meskipun itu benar bahwa objektifnya memang wacana atau narasi dari wahyu Allah yang disebarkan melalui Rasulullah. Tetapi begitu sampai di dalam dirimu kalau dia sudah menjadi wacan, narasi, dan thariqat batinmu sendiri baru dia Islam. Jadi Islam itu bukan sesuatu yang dari Arab namun Islam adalah dari sesuatu yang kamu temukan di dalam dirimu sebagaimana Allah sendiri tidak dari Arab atau manapun, namun Allah itu kamu temukan dengan rasa atau dengan apapun saja di dalam dirimu. Kata Allah kalau engkau tidak melihat-Ku maka Aku melihatmu, gitu kan. Nah kita merasakan Allah, jadi melihat Allah itu tidak seperti melihat cacing atau melihat asbak atau melihat teh, tapi melihat Allah itu melihat dengan mata batin yang terdalam, merasakan peran-Nya, dan merasakan kehadiran-Nya. Makannya ada ilmu yang namanya hadharah atau hudhur di mana Rasulullah itu tidak pernah tidak ada karena dia selalu hadir dalam hidup kita, demikian pula Allah yang selalu hadir. Nah perlu kita pahami bahwa hadirnya Allah dan Rasulullah itu tidak di panggung, tidak di lapangan dan tidak di forum-forum, akan tetapi hadir di dalam kesadaran kita, hadir dalam cinta kita, dan hadir dalam rasa kita. Nah sebenarnya ini adalah urusan setiap orang yang mau tidak mau. Bedanya adalah kalau binatang tidak bisa mengambil jarak untuk merumuskan, sedangkan kalau kita bisa merumuskan. Nah perumusan ini kemudian menjadi ilmu yang kemudian membikin ruwet. Jadi sebenarnya yang bikin ruwet itu ilmu, yang pada akhirnya ada feodalisme kalau tasawuf tinggi, terus nanti ada pecahan-pecahan apakah ini makrifat ataukah masih thariqat ataukah baru syariat ataukah belum hakikat. Padahal empat hal itu bukanlah tingkatan, bukan stratifikasi, dan juga bukan prestasi-prestasi dari apa yang disebut perjalanan spiritual. Tidak mungkin anda bersyariat tanpa hakikat karena hakikat itu keberangkatannya, “Hakikinya kamu shalat itu begini, hakikinya kamu nggendong anak itu begini, hakikinya kamu menolong masyarakat itu begini, nah itu adalah thariqat. Jadi semuanya itu thariqat. Terus kemudian nanti ada pencapaian-pencapaian, “Kamu jadi bahagia karena menolong orang, kamu menjadi senang ngelihat anak-anak kecil bermain-main”, itu semua kan makrifat-makrifat kecil. Jadi itu bukan tingkatan, karena selama ini ada stigma umum bahwa kalau ini masih syariat, ini sudah ke hakikat, ini sudah thariqat, ini sudah mencapai makrifat, dan sufi itu terkenal seolah-olah mereka adalah manusia-manusia makrifat. Lho lha memang setiap orang itu makrifat dan setiap bayi pun begitu lahir dia makrifat, makannya dia nangis. Kemudian seiring berjalannya waktu dia mengenal bahwa itu ibunya, itu bapaknya, dan itu saudaranya. Itulah makrifat-makrifat yang terus menerus dia temukan. Makrifat itu adalah pengetahuan batin yang akurat dan esensial. (Ruang Diskusi)
By: Bayu Widianto
Panggang, Gunungkidul, Yogyakarta,
22 Oktober 2022