Perjalanan Intelektual KH. Ahmad Mahfudz Kajen
Perjalanan Intelektual KH. Ahmad Sahal Mahfudz Kajen
Oleh: Suharsono, M.Pd.,S.Pd.
Kiai Sahal Mahfudh terlahir dengan nama lengkap Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudz bin Abdus Salam Al Hajaini. Lahir di Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, pada 16 Februari 1933. Tanggal tersebut memang tidak sama dengan tanggal yang digunakan dalam kartu Tanda Penduduk maupun dokumen–dokumen resmi lainnya. Namun belakangan ditemukan sebuah catatan lama milik ayahandanya yang menerangkan tanggal lahir Kiai Sahal yang sebenarnya bukanlah tanggal 17 Februari 1937, namun tanggal 16 Februari 1933 M. Data terakhir ini belum banyak dipublikasikan karena memang bukti bahwa Kiai Sahal lahir pada 16 Februari 1933 ini baru ditemukan kurang lebih dua tahun sebelum beliau wafat. Data mengenai tanggal lahir Kiai Sahal memang berbeda –beda. Umumnya yang digunakan adalah tanggal 17 desember 1937. Yang agak berbeda adalah data yang tertera dalam buku yang berjudul “Kiai Sahal, Sebuah Biografi”. Dalam buku tersebut tertulis Kiai Sahal lahir pada tanggal 15 Februari 1934.
Sejak kecil sampai akhir hayatnya, Kiai Sahal tidak pernah lepas dari kehidupan pesantren. Beliau lahir dari pasangan kiai makhfudh bin abdus salam dan nyai badi’ah. Kiai Mahfudz Bin Abdus Salam adalah saudara misan (adik sepupu) KH. Bisri Sansuri, salah seorang pendiri Nahdhotul Ulama’ yang wafat pada 25 April 1981, istri Kiai Sahal sendiri Hj. Dra. Nafisah, adalah cucu KH. Bisri Sansuri. Jika diruntut lebih jauh, keluarga ini mempunyai jalur nasab sampai kepada KH. Ahmad Mutamakkin yang juga diyakini sebagai seorang waliyulloh yang menyebarkan agama Islam di wilayah Kajen dan sekitarnya.
Perjalanan intelektual Kiai Sahal adalah sejarah dari pesantren ke pesantren. Karenanya jika berbincang mengenai tradisi keagamaan dan model keilmuan seperti apa yang menjadi latar belakang kehidupan Kiai Sahal, maka jawabannya adalah tradisi keilmuan dan corak pemikiran pesantren.
Pesantren yang dimaksud disini adalah pesantren ala Nahdliyyin yang mendasarkan pemikiran fikihnya berdasarkan fikih empat madzhab dan melandaskan tasawufnya ala Abu Musa Al Asy’ari dan Al Maturidi. Namun dalam kenyataannya, pesantren di Indonesia khususnya pesantren di Jawa bisa disebut sebagai pengikut fanatik madzhab Syafi’i. Maka dapat disimpulkan bahwa Kiai Sahal tumbuh di antara tradisi keagamaan ala masyarakat Nahdlatul Ulama. Kiai Sahal muda menyelesaikan pendidikannya di Perguruan Islam Mathali’ul Falah, beliau melanjutkan pendidikannya di pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur hingga tahun 1957. Setelah dari kediri, Kiai Sahal memutuskan untuk memperdalam ilmu Ushul Fiqih dengan mengaji secara langsung kepada Kiai Zubair di pondok pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah hingga tahun 1960. Selama di Sarang inilah Kiai Sahal banyak melakukan diskusi melalui surat–menyurat dengan ulama kharismatik asal Padang yang berdomisili di Makkah. Karenanya, usai nyantri di Sarang, Rembang, saat berkesempatan menunaikan ibadah haji, Kiai Sahal bertemu dan berguru secara langsung kepada Syaikh Yasin Al–Fadani di Makkah untuk pertama kalinya.
Kesempatan untuk bertemu dan berguru lagi kepada Syaikh Yasin Al–Fadani datang untuk kedua kalinya ketika Kiai Sahal menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya bersama istri tercinta, Nyai Nafisah. Kesempatan kedua ini merupakan saat Kiai Sahal dan Nyai Nafisah banyak menerima ijazah secara langsung dari Syekh Yasin Al-Fadani. Meski menghabiskan masa pendidikan dari pesantren ke pesantren, namun disiplin ilmu yang dikuasai Kiai Sahal cukup beragam, Kiai Sahal dikenal bukan saja menguasai keilmuan yang lazim dipelajari di pesantren seperti Bahasa Arab, Tafsir, Hadits, Ushul Fikih, Tasawuf, Mantiq, Balaghoh dan lain-lain.
Namun, lebih dari itu, Kiai Sahal merupakan ulama yang fasih berbicara diantara kaum intelektual kota dan para akademisi. Hal ini dikarenakan selain tingkat kecerdasan di atas rata–rata yang dimilikinya, Kiai Sahal juga merupakan ulama yang tak pernah lelah belajar. Kiai Sahal selalu bersemangat untuk dirinya dan masyarakat di sekitarnya. Semangat belajar ini ditunjukkan beliau sejak usia muda yakni dengan berusaha mempelajari Bahasa Inggris, Bahasa Belanda, Tata Negara, Administrasi, dan Filsafat melalui kursus privat, baik di Kajen, Pati maupun selama mondok di Bendo, Kediri.
Referensi:
M. Imam Aziz. 2014. Belajar Dari Kiai Sahal. Pengurus Pusat Keluarga Mathali’ul Falah. Kajen, Margoyoso, Pati (PPKMF)
Umdah el Baroroh dan Tutik Nurul Jannah. 2016. Fikih Sosial Masa Depan Fikih Indonesia. Pusat Studi Pesantren & Fikih Sosial.
Amir Syarifuddin. 2011. Ushul Fikih. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
Tutik Nurul Jannah (ed). 2015. Metodologi Fikih Sosial Dari Qauli Menuju Manhaji. Fikih Sosial. STAI Matha’liul Falah. Pati Jawa Tengah