Pendidikan

Paradigma Integrasi Interkoneksi

Paradigma Integrasi Interkoneksi

Suharsono, S.Pd., M.Pd.

Adanya dikotomi ilmu atau terjadinya pemisahan agama dari ilmu pengetahuan terjadi pada abad pertengahan masehi, yaitu ketika umat Islam belum terlalu memperdulikan ilmu pengetahuan. Pada saat itu, tokoh yang paling berpengaruh di masyarakat adalah ulama’ tarekat dan ulama’ fiqih. Keduanya mendoktrin paham taklid dan membatasi kajian agama hanya dalam bidang tertentu, seperti: tafsir, fiqih, tauhid dan lain sebagainya.
Sementara itu, ulama tidak tertarik mempelajari alam dan kehidupan manusia secara objektif, bahkan ada yang mengharamkan untuk mempelajari filsafat. Salah satu masalah paling mendasar dialami oleh umat Islam adalah lemahnya epistimologi ilmu pengetahuan. Kelemahan tidak hanya terjadi pada ilmu pengetahuan yang kontemporer tetapi juga pada pengembangan ilmu-ilmu klasik yang sejalan dengan pemikiran. Pada abad ke-19 terjadi perubahan dimana ilmu dan agama dapat diterima oleh sebagian umat. Banyak ilmuan yang mengkritik pengembangan IPTEK yang dipisahkan dari agama, salah satunya yakni M. Amin Abdullah. Amin Abdullah merupakan seorang pemikir prolifik dalam cendekiawan Muslim Indonesia. Amin Abdullah mampu mengkritik banyak argumen yang bertentangan, tetapi juga mampu melahirkan konsep cerdas yang dapat menjawab permasalahan dikotom ilmu.
Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual Muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul menyamai orang-orang barat apabila mampu menstransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Disamping itu terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara islami. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Tuhan, kehilangan dimensi spiritualitasnya, maka berkembanglah ilmu atau sains yang tidak punya kaitan sama sekali dengan agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu dan teknologi yang seharusnya memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan sesaat yang justru menjadi “penyebab” terjadinya malapetaka yang merugikan manusia. Dipandang dari sisi aksiologis ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya. Dengan demikian, ilmu dan teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan bukan sebaliknya. Untuk mencapai sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu keislaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut tidak bebas nilai atau sekuler. Pendekatan interdisciplinary dan interkoneksitas dalam integrasi interkoneksi antara disiplin ilmu agama dan umum perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa kenal henti. Bukan masanya sekarang disiplin ilmu–ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan intervensi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman dan begitu pula sebaliknya.

Referensi:
Masyithoh, dewi dkk, “Amin Abdullah dan Paradigma Integrasi Interkoneksi”, Jurnal Sains Sosial dan Humaniora, Vol. 4, Nomor 1, Maret 2020.
Syahputra Fandi, “Pengertian Integrasi Interkoneksi”, Islam and Science Information Center Sunan Kalijaga (ISIC SUKA), 2013.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button