Menjaga Kesehatan Hati
Kalau menjaga kesehatan akal itu caranya tidak terlalu sukar, yaitu ada obyektifitas, ada sportifitas, ada ketepatan berpikir, ada metode yang sudah kita pelajari bersama (sudut pandang, sisi pandang, jarak pandang, resolusi pandang, lipatan pandang, lingkar pandang, dan apapun saja). Tapi yang tidak mudah adalah menjaga kesehatan hati kita yang akan merupakan cicilan dan bangunan terhadap kesehatan jiwa dan akhirnya kesehatan ruh kita. Kalau kesehatan jiwa saja belum cukup karena kalau dia sudah bergabung dan menjadi satu mekanisme dengan kesehatan akal baru dia merupakan kesehatan ruh kita. Nah kita ini kan ruh karena jasad kita ini hanya medium sementara di perjalanan yang sangat singkat di muka bumi ini setelah itu kita akan masuk ke keabadian melalui beberapa transformasi yang nanti harus bisa kita dekati oh ini masalah fisika ini masalah metafisika ini masalah transformasi ini masalah peralihan ini masalah perubahan bentuk ada yang radikal, ada yang revolusioner, ada yang evolusioner, dan seterusnya. Tidak sukar untuk menjaga kesehatan akal. Akal tidak dijaga kesehatannya kalau hati kita tidak terjaga atau tidak punya antisipasi terhadap nafsu karena kita punya empat unsur yaitu syahwat (kemaluan dan perut), hati, dan akal. Nah sebenarnya antisipasi terhadap nafsu dapat dilakukan dengan cara puasa. Puasa itu kalau hanya urusan tidak makan dan tidak seks itu sangat mudah, bahkan anak balita sudah bisa puasa sehari. Kalau puasa hanya sekedar tidak makan dan minum subuh sampai maghrib maka tidak perlu firman dan perintah Allah karena itu bisa ditemukan sendiri oleh ilmu kesehatan manusia. Jadi itu masalah sangat sederhana. Tapi yang utama adalah puasa kehidupan dalam arti yang menyeluruh. Apa formula puasa untuk hati dan jiwa kita secara keseluruhan dan apa sebenarnya puasa ruh, karena Allah sendiri sedang berpuasa dan menunggu kiamat tidak yang akan Allah tentukan, sehingga beliau nanti berhari raya bersama kita di surga jannatuna’im. Jadi kita ini latihan. Kalau kita menjaga kesehatan badan ada dokter untuk mengerti batas-batas, formula, kiat, resep, sebab akibatnya, dan seterusnya. Kesehatan akal juga ada dan itu gampang tidak terlalu sukar-sukar amat. Tidak usah sekolah bahkan bisa lebih sehat akalnya daripada sekolah. Karena kalau kita sekolah kita akan bertemu dengan banyak sekali gangguan-gangguan terhadap akal sehat kita. Misalnya gangguan kepentingan politik, kepentingan proyek, nafsu, dan seterusnya. Sedangkan orang yang tidak sekolah adalah orang yang tidak mendapat gangguan itu karena dianggap tidak expert maka dia tidak mendapatkan proyek-proyek dan legalitas-legalitas sehingga lebih tenang tidak sekolah. Tapi hal ini tidak menganjurkan kita untuk tidak sekolah. Uraian ini hanya memaparkan kepada kita mari dipertimbangan kembali segala sesuatu di dalam hidup ini.
Nah kalau kesehatan hati itu bukan atas sadar tapi dia adalah sebuah wilayah yang sangat luas luar biasa yang di bawahnya ada kompor nafsu yang akan membakar terus hati kita. Makanya Allah menemani kita dengan menyarankan agar kita beriman kepada Allah. Mengapa beriman kepada Allah? Karena kita sendiri tidak bisa menjaga ruh kita, yang bisa menjaga ruh kita hanyalah Allah melalui para malaikat. Karena kalau kita sendiri tidak bisa menjaga maka kita perlu komitmen dan nyantol (gondelan) Allah dan Rasulullah serta tidak berpecah belah di antara kita. Jadi kalau kalimat afdhiliyahkan atau diskalaprioritaskan maka bisa tergantung pengalaman kita masing-masing, bisa tergantung teori substansialnya apa, dan itu juga tidak ada yang mengikat satu sama lain. Kalau kita menemukan bahwa hidup kita sangat memerlukan Allahu akbar ya sudah Allahu Akbar. Kalau hidup kita sangat memerlukan subhanallah ya sudah subhanallah. Cuman mungkin kalau kita mencari substansi teoritisnya atau urut-urutannya sehingga seseorang menemukan puncak dari perjumpaannya dengan kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, mungkin yang perlu kita lakukan pertama adalah istighfar. Gelasnya dicuci dulu, karena istighfar itu pembersihan diri kita dari dosa-dosa. Kemudian setelah itu subhanallah, kita resmikan kebersihan itu dengan menyadari kesucian Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jadi urutannya kira-kira begitu meskipun ini tidak terikat. Pokoknya kita berdaulat dan kita mencari yang paling efektif bagi diri kita masing-masing. Jadi setelah astaghfirullah, subhanallah (posisi gelas sudah bersih), kemudian kita mulai memilih mana yang mudhorot dan mana yang manfaat, “Oh ternyata yang kemaren itu bukan mudharat ya karena dia mudharat itu kemarin, setelah itu ada kejadian ini-ini dan menjadi manfaat ternyata dia”, itu namanya Alhamdulillah (kita mendapatkan hikmah dan hikmah itu puncak ilmu). Jadi ilmu ketika di atas intelektualitas dia sudah merupakan hikmah, dan hikmah itu mendekat ke kemuliaan sehingga menjadi karomah.
Kemudian seiring berjalannya waktu kita akan sadar bahwa ternyata kita ini memang tidak ada, memang sebenarnya yang ada itu hanya Allah. Kita itu tidak punya apa-apa dan bukan siapa-siapa karena sebenarnya semuanya itu laa ilaha illallaah. Maka kemudian “laa haula wa laa quwwata illa billah”. Kemudian kita berderet terus, ada kalimat thoyyibah yang sangat bermacam-macam yang jumlahnya tidak terbatas meskipun disepakati oleh para ulama ada 4, dan Ini semua tidak perlu dipertengkarkan. Hendaknya kita memiliki sensitifitas dan spontanitas untuk menikmati rahmat Allah itu, dan tidak perlu mencari-cari perbedaannya dengan cara orang lain menikmatinya. Nah para pembaca sekalian tolong makan kita jangan ngawur dan hidup kita juga jangan ngawur, tidur tidak tidur dihitung yang bener, setiap ada mur yang longgar dirapeti. Pokoknya ada mur longgar satu cepat-cepat dirapatkan. Ada sedikit gangguan cepat kita perbaiki.
Jadi para pembaca sekalian kita ini lemah, apa yang kita tahu kita tidak tahu. Sebenarnya satu menit lagi terjadi apa kita juga tidak tahu. Kita mau sakit atau tidak kita juga tidak tahu. Makannya tidak benar kalau kita sehat, yang benar adalah Allah sampai hari ini belum memperkenankan kita untuk mengalami sakit, itu thok. Tapi kalau dibilang kita sehat itu tidak, karena sehat itu milik Allah bukan milik kita. Kita sesehat apapun bisa sakit dan kita sesakit apapun bisa sehat, kita hidup sangat sehat tetap suatu saat bisa sakit. Begitu pula kita hidupnya ngawur juga bisa tidak sakit, tapi ini jangan dijadikan pedoman. Jadi gelandangan berpuluh-puluh tahun jalan kaki hanya pakai sarung tidak pakai baju dan tidak pernah mandi, tidak jelas pula makan dan tidurnya, tapi dia sehat (tidak masuk angin, tidak paru-paru, dan itu bisa sehal wa afiat. Jadi kesehatan milik Allah, sakit milik Allah hidup milik Allah, dan mati juga milik Allah. Tapi sudah menjadi kepastian bahwa kita ini lemah, kita sangat tergantung kepada Allah dalam hal apa saja. Jadi jangan ada yang merasa bahwa kita ini berkuasa atas apapun saja, meskipun sekedar pada sehelai rambut. Kita tidak bisa menghalangi uban kita kecuali menutupinya dengan cat.
Kalau kita ini lemah atas apapun saja; jangankan atas Negara, jangankan atas pemerintahan, jangankan atas suatu persoalan yang rumit, jangankan atas suatu kantor, sesungguhnya kita tidak berkuasa. Kita ini hanya sangat bergantung kepada rahmat Allah yang tidak pernah berhenti, yang dalam satu detik bisa dilimpahkan Allah berjuta-juta kali lipat dari jumlah waktu yang disediakan dalam satu detik itu. Kita hidup karena rahmat Allah bahkan tidak ada orang masuk surga karena amal ibadahnya, akan tetapi orang masuk surga semata-mata karena rahmat Allah. Terserah Allah karena Dia yang punya surga; komisarisnya ya Dia, direkturnya pun ya Dia sendiri, jadi mau bikin apapun ya terserah Dia, kita tidak bisa apa-apa dan tidak bisa mengarahkan Allah. Andaikan Allah tidak adil pada manusia itu boleh karena semuanya punya-Nya sendiri kok. Tapi kenyataannya Allah adil karena Dia cinta kepada kita semua, cinta-Nya Allah itu melahirkan keadilan kepada kita. Maka ada kalimat dalam al-Qur’an, “Fa man ya’mal mitsqoola dzarrotin khoiron yarohu, wa man ya’mal mitsqoola dzarrotin syarron yarohu”. Jadi semuanya tetap ada sebab dan akibatnya dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan kita ini sangat lemah. Kalau lemah itu kan berarti harus baik antara satu sama lain karena sama-sama lemah. Karena sekarang ini banyak sekali di antara kita yang bikin banyak masalah di Indonesia ini, menganiaya dirinya-sendiri. Ayok kita memperkecil masalah dari diri kita. Kalau ada masalah terhadap kita mari kita Alhamdulillah-kan, tapi jangan sampai menjadi masalah bagi siapapun. Kalau ada orang yang bikin masalah terhadap kita, maka Alhamdulillah-kan, astaghfirullah-kan, kalimat thoyyibah¬-kan, dan seterusnya.
Ditulis Oleh Bayu Widianto
Panggang, 20 Oktober 2022