Menemukan Tujuan Hidup
Mari kita 70% menengok ke dalam diri kita, melakukan perjalanan ke dalam diri kita, sedangkan yang 30% melihat-lihat ke luar. Jadi ada dialektika luar-dalam luar-dalam. Jangan terlalu melihat ke luar sementara kita tidak terlalu melihat ke dalam. Sekarang kita lihat pelan-pelan bahwa satu titik bisa dilihat dari tidak terbatas sudut. Jadi kalau kita melihat hidup ini bukan kotak-kota, bukan eksagon, bukan octagon, bukan segi lima dan dua belas, akan tetapi lingkaran, maka ajaran puncak kita dalam Islam adalah tawaf. Lingkaran itu sudutnya tidak terbatas atau tidak ada batasnya, jadi tidak pernah kita benar-benar mengerti sesuatu hal. Puncak pengertian kita selalu menghasilkan ketidakmengertian baru karena puncaknya nanti adalah Ihdinasshiratalmustaqim, dan itu hanya Allah yang mengerti presisinya, dan sampai akhir hayat kita kita tetap pada posisi Ihdinasshiraatalmustaqim (tidak ada orang yang benar-benar mengerti). Itulah sebabnya yang nomor satu dalam agama adalah iman, yakni metode untuk menghadapi sesuatu yang kita tidak mengerti. Kalau untuk sesuatu yang kita mengerti itu pakai ilmu, sedangkan untuk sesuatu yang kita tidak tahu maka menghadapinya pakai iman. Kalau kita kawin maka kita tidak tahu persis hatinya istri atau suami kita. Kalau yang kelihatan bisa dimengerti, yakni panjangnya, durasinya, dan seterusnya, dan itu gampang, tapi kan hatinya tidak bisa dimengerti. Nah satu-satunya cara untuk memperlakukan ketidakmengertian kita kepada hati suami atau istri kita adalah mempercayainya. Kalau kemudian ada dialektika untuk saling percaya satu sama lain, maka insyaAllah kita akan menemukan kenyamanan hidup meskipun tidak melalui ilmu. Jadi ada rasa nyaman yang justru tidak memakai ilmu, lebih baik kita tidak mengerti daripada ngerti. Makanya kalau kita beriman kepada Allah berarti kita percaya sama Allah, sehingga syarat pertama untuk beriman kepada Allah adalah kita sendiri harus bisa dipercaya oleh Allah. Maka hal ini sama dengan ridho, yakni kita tidak perlu sibuk mencari ridho Allah akan tetapi kitanya yang harus ridho terhadap Allah. Pastikan diri kita selalu ridho terhadap ketentuan Allah, maka otomatis Allah akan ridho kepada kita. Makanya kalau di dalam al-Qur’an disebutkan dengan kalimat “Irji’iii ilaa ribbiki roodhiyatan mardhiyyah”, bukan dibalik “Mardhiyyatan rodhiyyah”. Rodhiyyatan artinya adalah kita menjadi orang yang meridhoi (ridho) maka kita mendapatkan mardhiyyah, yaitu kita menjadi orang yang diridhoi oleh Allah. Jadi urutannya bukan “mardhiyyatan rodhiyyah” tapi “rodhiyyatan mardhiyyah”, yakni kita ridho dahulu sama Allah baru nanti Allah ridho kepada kita. Tapi kebanyakan kita sekarang itu protes alias tidak rela terhadap ketentuan Allah (begini kurang begitu kurang, begini rewel begitu rewel, begini dan begitu protes kepada Allah) terus kita minta ridho Allah? Bagaimana Allah akan bisa ridho terhadap diri kita lha wong diri kita saja tidak rela kepada Allah. Maka ini nanti menjadi salah satu jalan yang harus kita masuki agar supaya kita bisa masuk ke dalam diri kita masing-masing.
Kembali kepada lingkaran dengan titik dan sudut yang tidak terbatas karena namanya juga lingkaran, dan itulah kehidupan. Jadi sekarang kita bercermin, yakni kita mencari diri kita sendiri atau melihat wajah kita sendiri. Kita punya tujuan karena kita memiliki asal-usul karena jika orang tidak punya asal-usul maka otomatis juga tidak punya tujuan, kita tidak jelas asal-usulnya maka tujuannya pun tidak jelas. Misalnya ketika kita dari semarang ingin ke Jakarta maka ada rentang jarak interval antara Semarang Jakarta. Pertanyaannya berarti kita di mana? Kalau kita ingin ke Jakarta berarti otomatis kita di Semarang, sedangkan kalau kita tidak di Semarang berarti kita tidak pengen ke Jakarta. Nah kalau kita sendiri tidak jelas dalam kondisi dan posisi di mana, maka kita juga tidak akan punya tujuan. Kalau kita bermain sepak bola sedangkan tidak jelas posisinya maka tujuan nendang bolanya juga tidak jelas. Tidak hanya tidak jelas kita itu sebagai stracker atau gelandang ataukah back atau apapun, tapi kita tidak jelas ikutan tim kesebelasan yang mana, kalau gitu terus kita mau nendang bolanya ke mana dan larinya ke mana? Nah sekarang kebanyakan orang seperti itu, tidak jelas ikut kesebelasan mana dan tidak pernah belajar gawangnya di mana sehingga bingung nendang bolanya ke mana. Akhirnya yang terjadi sekarang bikin gawang sendiri-sendiri, beli bola sendiri-sendiri, dan dimasukkan ke gawangnya sendiri. Apalagi sekarang Negara kita mengizinkan wasit boleh menendang bola, sistemnya sebegitu rupa kacaunya. Official turun tapi malah jualan minuman, wasitnya niup peluit sambil membisiki pemain, “butuh pulsa tidak kamu? Aku jual pulsa”, gimana coba kalau demikian. Makanya dalam tata kehidupan ada sebuah teori bahwa ada petugas yang punya keris, ada petugas yang pegang pedang, dan ada rakyat yang bekerja pakai cangkul. Nah orang yang pegang pedang adalah orang yang dimandati untuk punya otoritas maka dia punya pedang yang merupakan lambang dari kekuasaan. Orang seperti ini tidak perlu kerja karena dia sudah dibayar oleh rakyat, dia adalah pejabat sehingga dia bawa pedang. Nah kalau kita sebagai filosof atau sebagai puno kawan atau sebagai Begawan berarti kita punya keris, dan orang yang punya keris itu dia tidak dibayar karena tugasnya hanya mengayomi masyarakat. Sedangkan kalau rakyat tugasnya adalah membawa cangkul dan arit yang tugasnya adalah bekerja. Sekarang pertanyaannya adalah orang-orang yang pegang pedang ini dia menggunakan pedangnya untuk menjaga orang mencangkul atau pedangnya malah dia gunakan untuk mencangkul? Ini pedang kok malah dijadikan untuk mencari makan, meras sana meras sini cari bathi, “Wahh..pilkadane wingi entek okeh je, 15M.e (wah pilkada kemaren habis uang banyak, 15M je)”, akhirnya selama jadi pejabat ya dia ngarit.
Sekarang kita memakai metode begini, “kamu tidak punya tujuan ke Jakarta kalau kamu tidak berada di Semarang, berarti kamu butuh pengetahuan bahwa kamu berada di Semarang. Terus kamu juga harus tahu kamu mau ke mana, ooo mau ke Jakarta. Kan gitu”. Sekarang kalau Semarang-Jakarta ini adalah kehidupan, maka apa yang harus kita persiapkan? Tentu ya cari tiket dan bawa uang untuk makan, kemudian bekal yang berikutnya adalah pengetahuan yang jelas mengenai rute perjalanan dari Semarang ke Jakarta. Untuk ke Jakarta dari Semarang berarti lewat Pekalongan, Tegal, dan Cirebon. Tapi mungkin terpaksa karena ada jembatan jebol, mungkin terpaksa lewat Wonosobo sampai Purwakarta lalu lewat Garut dan seterusnya, baru ke utara, itu bisa juga tapi kan itu darurat. Jadi seperti itulah pengetahuan mengenai jalan hidup.
Perlu kita ketahui bahwa di dalam Islam itu ada empat jalan, yaitu:
- Sabil, yang artinya adalah jalan.
- Syari’at, dari kata syarii’ yang artinya juga jalan.
- Thariqah dari kata thariq yaitu jalan.
- Shirat, yaitu pedoman atau cakrawala.
Sabil itu apa? Sabil adalah arahnya, sedangkan syariat adalah Allah memerintahkan kita untuk berjalan ke Jakarta itu sudah dikasih jalan, nah jalan yang dikasih sama Allah itulah yang dinamakan syariat (syahadat, shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat, dan haji jika mampu). Itulah jalan yang sudah disediakan oleh Allah, dan itu berevolusi. Di zaman nabi Adam belum ada puasa Ramadhan, nabi Ibrahim tidak terikat oleh aturan shalat lima waktu, nabi Musa juga tidak pernah jum’atan, dan nabi Isa tidak pernah shalat dhuha seperti kita ini. Sejak Rasulullah isra’ mi’raj baru ada administrasi baru, regulasi baru, shalat lima waktu, dan seterusnya. Jangan lupa bahwa Nabi Musa sudah muslim dan sudah menjalankan Islam meskipun dia tidak pernah shalat lima waktu. Cuman orang sesudah Rasulullah terikat oleh shalat lima waktu, tapi tetap shalat lima waktu itu bukan intinya, intinya adalah komitmen kita kepada Allah. Kita ngantor wajib jam 7 harus sudah sampai kantor absen dan jam 4 sore boleh pulang, tapi yang terpenting datangnya kita itu adalah bekerjanya kita bukan ketepatan waktunya tadi meskipun hal itu memang penting. Kita shalat runtut dari awal sampai akhir tapi sepanjang shalat hati kita selalu ingat pacar. Jadi selama shalat kita tidak ingat Allah tapi kita melakukan semua syariat-Nya, yaitu tabiratul ihram, al-fatihah, surat, dan semuanya sesuai dengan fikih, tapi hati kita selalu ingat pada yang lainnya dan 90% tidak ingat Allah. Sekarang pertanyaannya adalah sembahyangnya sah ataukah tidak? Jawabannya adalah secara syar’i itu sah. Tapi cobalah bertanya pada dirimu sendiri bahwa seperti itu shalat atau bukan.
Jadi di sinilah dinamika dan dilemanya manusia, karena kita tidak bisa ngecek hatinya orang. Makanya di fikih tidak bisa diatur bahwa hati kita harus konsentrasi kepada Allah karena tidak ada yang ngecek dan ngontrol. Nah jadi tolong kita berendah hati satu sama lain karena kita tidak pernah tahu di antara satu masjid yang kita shalat bersama itu mana yang khusyuk dan mana yang tidak, dan kita tidak bisa menuduh siapa-siapa. Sekarang ini yang kurang adalah kerendahatian untuk tidak suudzon kepada orang lain. Inilah syariat atau jalan yang sudah dikasih oleh Allah, tapi cara kita lewat ada yang pakai bus, ada yang pakai angkot, ada yang pakai motor sendiri, ada yang jalan kaki, ada yang naik sepeda, ada yang naik kereta, dan macam-macam. Boleh tidak dari yang tadinya naik gerobak tiba-tiba naik mobil? Tentu jawabannya adalah boleh asalkan kita lewat situ. Yang tidak boleh kita langgar adalah bahwa kita melalui jalan itu tadi.
Ditulis oleh Bayu Widianto
Panggang, 23 Oktober 2022