Membereskan Diri Secara Spiritual
Spiritual ini ranahnya lebih ke wilayah batin, yakni membereskan diri kita secara spiritual. Orang yang spiritualnya matang maka insyaAllah nanti keberagamaannya juga dewasa dan matang. Dia akan jadi problem solver bukan lagi trouble maker, yakni dia akan memberi solusi untuk kehidupan ini dan bukan sumber masalah. Kita mulai dari yang pertama. Kematangan spiritual itu dicirikan ketika kita tidak lagi sibuk mengubah orang lain namun lebih fokus mengubah diri sendiri. Jadi orang yang matang secara spiritual adalah perhatian utama dan pertama ialah dirinya sendiri (saya ini masih kurang, saya ini masih lemah, saya ini masih butuh perbaikan). Tapi ada orang yang sebaliknya yang sibuknya selalu nembak ke luar (orang itu ilmunya kurang, orang itu belum sadar-sadar, orang itu masih duniawi mikirnya, orang itu masih ambisius, dan selalu orang lain), nah berarti orang semacam ini belum matang spiritualitasnya. Lantas apakah menasehati orang di sekeliling kita itu tidak penting? Jawabnya adalah penting, tapi pertama-tama adalah mari bereskan diri kita sendiri dulu.
Kemudian ciri yang kedua adalah menerima diri sendiri dan orang lain sebagaimana adanya. Jadi kenapa kita tidak harus sibuk dengan orang lain ya kita terima saja orang lain apa adanya. Kenyataan bahwa orang itu beda-beda ya kita terima, termasuk menerima diri kita sendiri. Banyak orang yang sukanya memarahi dirinya sendiri, kecewa terhadap hidupnya sendiri sehingga dia selalu menekan dirinya. Itu kalau tidak hati-hati nanti dari stress bisa jadi depresi yang akhirnya jadi sakit jiwa. Oleh karena itu mari kita terima diri kita apa adanya dan juga orang lain. Bahwa kita kurang iya memang, bahwa kita ada kelemahan memang iya, tapi itu tidak dijadikan alasan untuk membenci diri kita apalagi mengusir kita dari diri kita sendiri. Terimalah dirimu dan juga orang lain. Orang lain juga harus kita terima sebagaimana adanya. Berarti kalau sudah bisa menerima diri menunjukkan kita sudah matang secara spiritual.
Kemudian yang ketiga adalah tidak lagi membebankan beragam harapan kepada orang lain dan fokus untuk memberi atau berbagi. Orang yang matang secara spiritual itu tidak banyak membebankan harapan. Membebankan harapan adalah sebagai contohnya, “aku ingin engkau begitu, aku butuh ustadz yang begini, aku ingin dosen itu menurutku yang baik, aku ingin punya teman yang ideal itu begini”, jadi kita membebankan harapan-harapan dan ideal-ideal kita kepada orang lain. Ini biasanya membuat kita kecewa sendiri dan juga menjadi beban hidup kita. Oleh karena itu fokuslah pada memberi atau berbagi. Coba mari kita teliti diri kita kira-kira kita bisa berbagi apa pada orang lain, pada lingkungan sekelilingku, mampuku memberi apa, dan itu tidak harus berupa harta namun bisa tenaga, ilmu, dan lain sebagainya. Jadi mari kita sibuk dengan apa yang bisa kita berikan kepada orang lain bukan pada apa yang kita inginkan dari orang lain. Nah orang yang semacam ini kategorinya berarti dia sudah matang secara spiritual. Yang dia pikir hanya memberi dan berbagi pada yang lain bukan mengharapkan dan meminta pada yang lain. Ini akan mengurangi beban hidup dan juga efek kecewa serta susah dalam hidup.
Kemudian yang keempat adalah orang yang matang secara spiritual itu mengerti bahwa apapun yang ditanam itu yang dituai, apapun yang dilakukan itulah yang dinikmati. Jadi ini rumusnya orang hidup itu, “Sekecil apapun kebaikan akan kita nikmati hasilnya, dan sekecil apapun kejelekan akan kita nikmati juga efeknya”. Orang yang matang secara spiritual ngerti bener rumus itu, makanya dia hati-hati agar jangan sampai melakukan kesalahan sekecil apapun, eman-eman nanti dengan panennya. Jadi itu ciri kematangan yang keempat, yakni menjadikan hal itu rumus hidup bahwa apapun yang dilakukan anak dinikmati hasilnya. Karena hari ini kan kadang-kadang kita meremehkan tindakan-tindakan kecil yang menurut kita seandainya dosa itu ya cuman dosa-dosa kecil.
Kemudian yang kelima adalah orang yang matang secara spiritual itu tidak sibuk memamerkan kepada dunia betapa diri ini benar atau baik. Ini mungkin agak berat karena hari ini yang terjadi adalah dunia pencitraan, dunia medsos, twitter, instagram, facebook, itu kan dunia pamer. Jadi hari ini kita tidak cukup jadi orang baik tapi juga ingin dikenal sebagai orang baik bahkan ingin viral sebagai orang baik. Ini sebenarnya secara tidak sadar kita membebani diri dengan tiga hal sekaligus yang berat yaitu: menjalankan kebaikan sendiri itu sudah berat, tapi kita nambah beban lagi dengan memamerkan kebaikan, dan itu pun kita masih membebani lagi harus viral dan banyak yang nge-like kebaikan. Nah ini kan harusnya bebannya hanya satu yakni melakukan kebaikan saja namun ini nambah jadi tiga. Betapapun memang memamerkan kebaikan itu bukanlah sesuatu yang positif. Bahwa orang melihat kebaikan yang engkau lakukan tidak masalah, bahwa orang tahu engkau melakukan kebaikan tidak masalah tapi jangan secara sengaja memamerkan kebaikan, menunjuk-nunjukkan pada orang lain bahwa kamu sudah melakukan kebaikan.
Kemudian ciri yang selanjutnya adalah tidak sibuk mengejar persetujuan dan pujian orang lain. Inilah ciri orang yang spiritualitasnya matang. Kita ini sering lebih direpotkan oleh “kira-kira orang setuju tidak ya dengan yang saya omongkan, kira-kira nanti saya dipuji tidak ya kalau melakukan ini, kira-kira orang cocok tidak ya dengan yang saya lakukan ini”. Jadi cocok tidak cocoknya orang, pujian atau celaannya orang, ini sebenarnya menunjukkan bahwa kita tidak terlalu yakin dengan kebenaran atau kebaikan yang akan kita jalankan. Harusnya kalau kita sudah mantep dan yakin bahwa ini benar dan baik serta dasarnya kuat itu kita tidak akan repot lagi mengejar, mencari, ataupun menunggu pujian atau persetujuan orang lain. Terserah lah monggo kalau ada orang setuju maupun tidak setuju, orang mau mencela juga tidak papa tapi saya yakin ini adalah benar dan baik. Nah ini menunjukkan orang sudah matang secara spiritual. Kalau masih sibuk menunggu komentar orang lain atau kemungkinan kita tidak terlalu yakin dengan kebaikan kita. Atau kita yakin dengan kebaikan kita namun kita menunggu-nunggu komentar orang karena ada unsur pamernya, berarti kita hanya ingin pamer. Sudahlah bukan berarti kita tidak boleh medsosan, tidak upload di instagram, facebook maupun WA. Monggo dilanjutkan tapi tata batinnya dibereskan terlebih dahulu. Semoga kita tidak sibuk memamerkan kebaikan kita dan juga tidak sibuk mengejar persetujuan dan pujian orang lain karena akan kontraproduktif dengan kematangan spiritual yang sedang kita bangun. Biasanya kalau orang mengejar pujian namun kemudian yang datang malah celaan wah itu pasti mood kita langsung turun drastis mengacaukan ritme ketenangan kita bahkan mungkin nanti menghalangi jalan spiritual kita.
Kemudian tidak lagi membandingkan diri dengan yang lain atau sebaliknya. Banding-bandingan ini biasanya ciri orang yang tidak percaya diri, tidak yakin dengan kebenarannya, atau kalau membandingkan orang lain dengan diri sendiri itu biasanya ciri orang yang sombong dan merasa benarnya sendiri. Begitu kita merasa benar kan terus kita ingin orang lain seperti kita, biasanya terus terjadilah membandingkan orang dengan dirinya (mbok dia itu kaya aku ini lho, mbok dia itu niru aku gitu lho) atau dibalik membandingkan diri dengan orang lain (aku ini sudah cocok belum ya dengan idolaku, sudah sesuai belum ya dengan yang selama ini aku puja-puja, sudah nyambung belum ya dengan artis yang selama ini aku idolakan, dan seterusnya), ini menunjukkan tidak percaya diri. Jadi membandingkan diri dengan orang lain dan menunjukkan tidak percaya diri, membandingkan orang lain dengan dirinya, biasanya menunjukkan rasa benar sendiri, kesombongan, dan keangkuhan. Ini juga jangan kita lakukan. Orang yang sudah tidak sibuk lagi dengan perbandingan-perbandingan menunjukkan dia sudah matang secara spiritual.
Selanjutnya orang yang matang secara spiritual itu mampu membedakan kebutuhan dan keinginan kemudian mampu mengontrol keinginan. Jadi dalam hidup ini kita sering rancu antara kebutuhan dan keinginan. Makan itu kebutuhan tapi nyari restoran mewah itu keinginan. Minum itu kebutuhan, tapi harus merk minum tertentu itu keinginan. Mencari ilmu itu kebutuhan tapi harus di kampus ini atau harus lewat ustadz ini atau harus lewat organisasi ini itu keinginan. Jadi bedakan dahulu deh mana kebutuhan dan mana keinginan. Bukan berarti tidak boleh keinginan ini, tapi keinginan ini dikontrol. Kalau keinginannya yang baik-baik kan tidak masalah, yang mendukung kebutuhan. “Saya pak ingin makan dan saya kok kebetulan idolanya angkringan maka saya ke angkringan”, ini tidak masalah. Tapi mungkin ada keinginan yang tidak nyambung, “pak saya ingin makan tapi di restoran itu yang satu porsinya satu jutanan itu, namun uang saya hanya 400 ribu”. Kalau seperti ini maka keinginan kita harus dikontrol. Nah ini mudahnya kemampuan untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Bukan berarti tidak boleh orang menginginkan sesuatu tapi kemampuan mengontrol keinginan itu nanti menjadi salah satu bukti kematangan spiritual. Tidak semua keinginan kita harus terpenuhi karena kita ini manusia. Ada keinginan yang bisa dipenuhi da nada yang tidak, bahkan ada keinginan yang pantas untuk diinginkan dan ada yang tidak pantas untuk diinginkan. Tidak pantas dalam arti belum waktunya dan belum saatnya. Jadi rumusnya itu tadi, kita harus sadar diri dan tahu diri sebelum mancang keinginan.
Kemudian ciri yang terakhir adalah bahwa ciri kematangan spiritual itu tidak lagi menggantungkan kebahagiaan kepada hal-hal yang material. Jadi orang yang spiritualitasnya mantap dan matang itu kebahagiaannya tidak tergantung kepada hal-hal di luar dirinya. “Saat ini juga, detik ini juga, saya bisa bahagia apapun yang saya miliki, materi apapun yang nempel pada saya”, itu namanya tidak menggantungkan kebahagiaan kepada hal-hal yang material.
Ditulis Oleh Bayu Widianto
Panggang, 22 Oktober 2022