Pendidikan

Gejolak Hati

Selama ini kita menganggap bahwa pluralisme itu hanyalah urusan masyarakat, Negara, politik, demokrasi, dan seterusnya. Sesungguhnya setiap orang itu plural di dalam dirinya. Jadi seseorang itu singularity (sebuah single) yang di dalam singularity itu ada plurality. Jadi di dalam diri kita itu ada bermacam-macam. Orang Jawa sudah merumuskan misalnya ada sedulur papat limo pancer karena diri kita itu ada empat minimum. Misalnya Joni sebagai sarjana, Joni sebagai suami, Joni sebagai orang Muhammadiyah, Joni sebagai bapak rumah tangga, dan lain sebagainya minimal empat (profesi, identitas agama, fungsi sosial, dan lain sebagainya). Pluralitas ini seperti tali yang terulur dari diri seseorang yang arah ulurannya itu berbeda-beda. Dari diri kita terulur tali keinginan politik, ada tali keinginan ekonomi, tali keinginan individual, ada keinginan kekeluargaan, dan bermacam-macam. Nah kata orang Jawa itu kan limo pancer yang pancernya itu Allah. Misal kita punya empat kambing atau lima kambing atau banyak kambing dalam diri kita, maka harus ada pathokannya (tempat talinya diikat), nah itulah pancernya. Lantas bagaimana caranya menyingkronkan raga, hati, dan pikiran yang sering kali punya kehendak yang berbeda-beda? Oke jawabannya kembali kepada kambing tadi. Ketika kita punya kambing banyak itu kan tentunya talinya juga banyak. Nah karena tali dan kambingnya banyak terus ada pathoknya satu nanti pasti ada peristiwa atau tahap-tahap di mana kambing ini saling silang dan mbundet talinya. Nah anda mungkin sedang mengalami tali itu yang satu sama lain saling overlap (tumpang tindih) sehingga menjadi ruwet. Tapi hidup memang begitu, apa saja juga memang begitu. Kan kalau shalat empat rakaat itu ada rakaat pertama, rakaat kedua, dan seterusnya. Nah hidup itu adalah rakaat-rakaat yang kita tekun dan sabar mengalaminya serta menjalankannya. Nah pluralitas di dalam diri kita itu kana da pancernya. sekarang mari kita lokalisir sebenarnya yang bertentangan pada diri kita itu apa dan dispesifikkan, kan nantinya akan terurai. Kita akan punya ide untuk mengurai dan memberinya solusi, pasti itu. Tapi kalau kita melihatnya global saja, kambingnya semrawut banyak sekali yang loncat sana sini dan tabrakan sana sini itu berarti kita tidak terkelola dengan baik. Itulah sebenarnya yang penting dalam diri kita bahwa yang nomor satu adalah pengelolaan antara hati kita dengan hati kita, hati kita dengan pikiran kita, pikiran kita dengan pikiran kita, dan segala macam dimensi yang ada dimensi ketuhanan dalam diri kita yang memang iradat dan amrnya sangat banyak. Nah sudah jelas bahwa pathokannya ya Allah. Jadi sekarang kalau pathokannya Allah berarti kita sudah tahu menurut Allah ini baik atau buru dan seterusnya sehingga nanti semuanya akan diurai pelan-pelan yang pada akhirnya akan bisa terurai dan ketemu.
Dari pembahasan di atas nantinya akan sampai kepada , “Kamu itu mau mencari yang enak atau cari yang baik”. Kan ada rumusnya bahwa seenak apapun kalau tidak baik maka tidak perlu dilakukan dan setidak enak apapun kalau itu baik maka mari dilakukan. Nah jadi ini masalahnya apa mari kita urai satu persatu dikit-dikit nanti kan ya ketemu. Karena tanpa belajar, tanpa pengajian, dan tanpa sekolah Islam pun kita secara naluriyah dan secara akal sejati akan tahu ini baik ataukah buruk ini tepat ataukah tidak tepat. Kalau nanti ada tahap di mana kita masih ragu-ragu terhadap suatu hal ya solusinya istikharah.

By: Bayu Widianto
Panggang, Gunungkidul, Yogyakarta,
22 Oktober 202

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button