Fathul Qorib: Etika Seseorang yang Sedang Kencing Atau Berak
ETIKA SESEORANG YANG SEDANG KENCING ATAU BERAK
ويجتنب وجوبًا قاضي الحاجة (استقبال القبلة) الآن وهي الكعبة (واسدبارها في الصحراء) إن لم يكن بينه وبين القبلة ساتر، أو كان ولم يبلغ[1] ثلثى ذراع، أو بلغهما وبعد عنه أكثر من ثلاثة أذرع بذراع الآدمي كما قال بعضهم. والبنيان في هٰذا كالصحراء بالشرط المذكور إلا البناء المعد لقضاء الحاجة فلا حرمة فيه مطلقًا. وخرج بقولنا: “الآن” ما كان قبلة أولًا كبيت المقدس، فاستقباله واستدباره مكروه. (ويجتنب) أدبًا قاضي الحاجة (البول) والغائط (في الماء الراكد)، أما الجاري فيكره في القليل منه دون الكثير، لكن الأولى اجتنابه. وبحث النووي تحريمه في القليل جاريًا كان أو راكدًا. (و) يجتنب أيضًا البول والغائط (تحت الشجرة المثمرة) وقت الثمرة وغيره. (و)يجتنب ما ذكر (في الطريق) المسلوك للناس، (و)في موضع (الظل) صيفًا، وفي موضع الشمس شتاء، (و)في (الثقب) في الأرض وهو النازل المستدير. ولفط “الثقب” ساقط في بعض نسخ المتن. (ولا يتكلم) أدبًا لغير ضرورة قاضي الحاجة (غلى البول والغائط)، فإن دعت ضرورة إلى الكلام كمن رأى حية تقصد إنسانًا لم يكره الكلام حينئذ
[1] لم يبلغ أي ارتفاع الساتر.
Orang yang sedang kencing atau berak memiliki beberapa etika, yaitu:
- Dia tidak diperbolehkan menghadap kiblat saat ini, yaitu Ka’bah. Karena di dalam Islam terdapat kiblat dua. Hal ini berdasarkan hadits yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ pernah shalat menghadap ke Baitul Maqdis (Palestin); dan kiblat yang ada di hukum ini adalah kiblat saat ini yaitu Ka’bah. Selain tidak diperbolehkan untuk menghadap kiblat, seseorang yang sedang berak atau kencing juga tidak diperbolehkan untuk membelakangi kiblat. Jadi ada beberapa catatan mengenai etika yang pertama ini; yaitu tidak diperbolehkan menghadap atau membelakangi kiblat apabila:
- Seseorang tidak berada di dalam bangunan, alias dia berada di tanah lapang.
- Tidak ada penghalang antara dia dan arah kiblat.
- Ada penghalang namun ukuran tingginya tidak mencapai 2/3 dzira.
- Ada penghalang dan tingginya sudah mencapai 2/3 dzira, akan tetapi jarak antara dia dengan penghalang melebihi 3 dzira.
Dan hukum antara orang yang ada di dalam bangunan dan yang tidak ini sama, kecuali bangunan yang memang disediakan untuk melakukan kencing atau berak. Jadi selama seseorang melakukan kencing atau berak di dalam bangunan yang disediakan untuk keduanya, maka hukum membelakangi atau menghadap kiblat ini sudah tidak berlaku. Oleh karena itu, seperti yang sudah dijelaskan tadi bahwasannya kiblat yang dibahas di dalam keterangan ini adalah kiblat saat ini yaitu Ka’bah, bukan Baitul Maqdis. Adapun ketika seseorang menghadap atau membelakangi Baitul Maqdis ketika kencing atau berak maka hukumnya makruh.
- Seseorang tidak boleh kencing atau berak di dalam air yang tergenang (tidak mengalir). Jadi ada sedikit perbedaan antara etika yang ini dengan sebelumnya, yaitu membelakangi atau menghadap kiblat. Kalau di etika yang sebelumnya menggunakan redaksi wujuban; artinya seseorang yang melanggar dia mendapatkan hukum keharaman. Namun di dalam etika yang kedua ini tidak menggunakan redaksi wujuban tetapi menggunakan kata adaban. Jadi ini membahas tentang melakukan kencing atau berak di air yang tidak mengalir.
Catatan:
- Tidak diperbolehkan seseorang melakukan kencing ataupun berak di air yang tidak mengalir.
- Bila kencing atau berak dilakukan di air yang mengalir, maka hukumnya makruh bila airnya sedikit. Dan di pembahasan air pastinya istilah sedikit ini langsung bisa diartikan dengan kurang dari 2 qullah. Jadi kalau air mengalir ini hukumnya diperinci; yaitu makruh bila sedikit, dan tidak makruh bila banyak. Artinya kalau air sedikit yang mengalir maka alangkah baiknya untuk tidak melakukan buang hajat.
- Imam Nawawi membahas tentang pembahasan ini, dan berkesimpulan bahwa hukumnya haram melakukan kencing atau berak di air yang sedikit, baik itu mengalir maupun tidak.
- Perbedaan Imam Nawawi dengan keterangan sebelumnya adalah kalau Imam Nawawi beliau lebih menekankan jumlah air; kalau sedikit haram, baik itu mengalir ataupun tidak. Sedangkan kalau di keterangan sebelumnya dijelaskan bahwa air yang tidak mengalir hukumnya mutlak tidak boleh, baik sedikit maupun banyak, sedang kalau yang mengalir tidak boleh bila sedikit.
- Orang yang berak atau kencing diharuskan untuk tidak melakukannya di bawah pohon yang bisa memiliki buah, baik di saat waktu berbuah maupun tidak.
- Tidak diperbolehkan melakukan kencing atau berak di tempat yang dilewati manusia.
- Tidak diperbolehkan melakukan kencing atau berak di tempat yang digunakan untuk berteduh di musim panas, atau di tempat matahari di musim dingin.
- Tidak diperbolehkan melakukan berak atau kencing di lubang-lubang yang ada di tanah; yaitu lubang yang turun ke bawah. Dan di sebagian redaksi/ salinan kitab tidak terdapat lafaz ats-tsuqbi; artinya ada perbedaan penulisan kitab asli di dalam kata tersebut (ada yang memakai dan ada yang tidak memakai).
- Tidak diperbolehkan berbicara bagi seseorang yang sedang kencing atau berak. Jadi orang yang sedang kencing atau berak disunnahkan untuk diam, untuk tidak mengucapkan apapun.
- Ketidakbolehan berbicara tentunya bila tidak ada kedaruratan yang memaksanya untuk berbicara. Sehingga andai kata ada kedaruratan yang memaksa untuk berbicara; misalkan dia melihat ada ular yang ingin memathok orang lain, kemudian di saat kencing atau berang dia memberitahu orang itu, maka hukumnya tidak apa-apa. Jadi berbicara yang dikarenakan ada kedaruratan yang menuntut, maka ini hukumnya tidak mengapa.
ولا يستقبل الشمس والقمر ولا يستدبرهما أي يكره له ذٰلك حال قضاء حاجته، لكن النووي في الروضة وشرح المهذب قال: إن استدبارهما ليس بمكروه. وقال في شرح الوسيط: إن ترك استقبالهما واستدبارهما سواء، أي فيكون مباحًا. وقال في التحقيق: إن كراهة استقبالهما لا أصل لها. وقوله: “ولا يستقبل…إلخ” ساقط في بعض نسخ المتن
- Tidak diperbolehkan pula seseorang kencing atau berak menghadap atau membelakangi matahari dan rembulan. Ini hampir sama dengan kiblat bahwa seseorang tidak boleh membelakangi keduanya; maksudnya di sini adalah dimakruhkan. Akan tetapi Imam Nawawi di dalam dua kitabnya, yaitu Kitab Ar-Raudhah dan Syarh Muhaddzab beliau berpendapat bahwa membelakangi matahari dan rembulan hukumnya tidak makruh. Tetapi di dalam kitab yang lain yakni Syarh kitab Al-Wasith karangan Imam Ghazali, beliau berpendapat bahwa menghadap atau membelakangi matahari dan rembulan ini hukumnya sama; dalam artian tidak ada hukum makruh. Jadi satu ulama yang bernama Imam Nawawi beliau dalam beberapa kitabnya memiliki pendapat yang berbeda-beda. Bahkan beliau di dalam kitab yang lain yakni kitab At-Tahqiq mengatakan bahwa kemakruhan menghadap matahari dan rembulan ini tidak ada dalil yang mengatakan hal tersebut.
Catatan: intinya Imam Nawawi memiliki beberapa pendapat di kitab-kitabnya yang berbeda dengan kitab yang lain. di dua kitab pertama yakni raudhah dan syarh muhaddzab, beliau mengatakan yang tidak makruh hanyalah membelakangi bulan atau matahari. Kemudian di syarh wasith beliau mengatakan membelakangi dan menghadap bulan atau matahari ini hukumnya sama, dalam arti mubah. Sedangkan di kitab tahqiq beliau mengkritiki dalil tentang menghadap bulan atau matahari. Di dalam sebagian salinan kitab tidak terdapat kalimat ولا يستقبل…إلخ (wa laa yastaqbilu).
Ditulis Oleh Bayu Widianto
Panggang, 21 Oktober 2022