Fathul Qorib: Pembagian Air
PEMBAGIAN AIR
ثم المياه تنقسم (على أربعة أقسام)؛ أحدها: (طاهر) في نفسه (مطهر) لغيره (غير مكروه) استعماله، (وهو الماء المطلق) عن قيد لازم، فلا يضر القيد المنفك كماء البئر في كونه مطلقًا. (و)الثاني: (طاهر) في نفسه (مطهر) لغيره (مكروه) استعماله في البدن لا في الثوب، (وهو الماء المشمس) أي المسخن بتأثير الشمس فيه. وإنما يكره شرعًا بقطر حار[1] في إناء منطبع إلا إناء النقدين لصفاء جوهرهما. وإذا برد زالت الكراهة، واختار النووى عدم الكراهة مطلقًا. ويكره أيضًا شديد السخونة والبرودة. (و)القسم الثالث: (طاهر) في نفسه (غير مطهر) لغيره، (وهو الماء المستعمل) في رفع حدث أو إزالة نجس إن لم يتغير ولم يزد وزنه بعد انفصاله عما كان بعد اعتبار ما يتشربه المغسول من الماء. (والمتغير) أي ومن هٰذَا القسم: الماء المتغير أحد أوصافه (بما) أي بشيء (خالطه من الطاهرات) تغيرًا يمنع إطلاق اسم الماء عليه، فإنه طاهر غير طهور، حسيًا كان التغير أو تقديريًا، كأن اختلط بالماء ما يوافقه في صفاته كماء الورد المنقطع الرائحة والماء المستعمل. فإن لم يمنع إطلاق اسم الماء عليه بأن كان تغيره بالطاهر يسيرًا أو بما يوافق الماء في صفاته وقدر مخالفًا ولم يغيره فلا يسلب طهوريته، وهو مطهر لغيره. واحترز بقوله:”خالطه” عن الطاهر المجاور له، فإنه باق على طهوريته ولو كا التغير كثيرًا، وكذا المتغير بمخالط لا يستغي الماء عنه كطين وطحلب وما في مقره وممره. والمتغير بطول المكث فإنه طهور. (و) القسم الرابع: (ماء نجس) أي متنَجس، وهو قسمان؛ أحدهما: قليل، (وهو الذي حلت فيه نجاسة) تغير أم لا، (وهو) أي والحال أنه ماء (دون القلتين). ويستثنى من هٰذا القسم الميتة التي لا دم لها سائل عند قتلها شَقّ عضو منها كالذباب إن لم تطرح فيه ولم تغيره، وكذا النجاسة التي لا يدركها الطرف، فكل منهما لا ينجس المائع[2]، ويستثنى أيضًا صور مذكورة في يسيرًا أو كثيرًا. (والقلتان: خمسمائة رطل بغدادي تقريبًا في الأصح) فيهما، والرطل البغدادي عند النووي مائة و ثمانية و عشرون درهمًا وأربعة أسباع درهم. وترك المصنف قسمًا خامسًا، وهو الماء المطهر الحرام، كالوضوء بماء مغصوب أو مسبل للشرب.
Kemudian air terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:
- Air yang suci pada zatnya dan dapat digunakan untuk mensucikan yang lainnya tanpa ada kemakruhan dalam penggunaannya. Air ini disebut dengan air yang mutlak dari batasan yang lazim. Maka tidak mengapa bila ada batasan yang pecah atau terpisah seperti air sumur di dalam keadaannya yang mutlak.
Catatan: dengan memenuhi 3 kriteria tersebut, maka air najis, air musta’mal, air musyammas, dan air yang berubah salah satu di antara 3 sifatnya (warna, bau, rasa), kesemuanya itu tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori air mutlak ini. Kemudian sesuai dengan yang telah kita baca bahwa ketentuan air mutlak ialah bebas dari batasan yang lain. Maksudnya benda tersebut adalah bisa kita sebut air. Dan tidak masalah jika batasannya adalah batasan yang terpisah. Misalnya batasan air tersebut adalah tempatnya, contoh: air sumur/air yang bertempat di dalam sumur, air sungai (air yang ada di sungai), dan lainnya. Maka ini tetap masuk dalam kategori air mutlak.
- Air yang suci pada zatnya dan dapat digunakan untuk bersuci, namun makruh hukum menggunakannya pada badan, dan tidak mengapa jika pada pakaian. Air ini disebut dengan air musyammas, yaitu air yang terkena panasnya matahari. Namun perlu diketahui bahwa kemakruhan ini berlaku apabila:
- Berada di daerah beriklim panas luar biasa pada saat musim panas.[1]
- Air tersebut bertempat di dalam wadah yang bisa dicetak, atau semisal logam (wadah yang bisa dicetak dengan palu) seperti besi, tembaga, atau bahan dari timah wadahnya, kecuali yang terbuat dari emas atau perak dikarenakan zat dari keduanya itu bersih.
- Sengatan panasnya matahari pada air di dalam wadah logam tersebut membuat karat-karat logam terlepas dan menyebar hingga ke permukaan air sebab terkena panasnya matahari.
Catatan: Alasan hukum makruhnya air musyammas ini adalah dalam pandangan syariat dan juga ilmu kedokteran. Sebab petunjuk ilmu kedokteran menyatakan bahwa sengatan panas matahari yang mengenai air yang berada pada wadah yang terbuat dari logam, hingga membuat kerak-kerak logam yang ada di dalam wadah tersebut terlepas dan menyebar di dalam air tersebut. Maka di saat air tersebut bersentuhan dengan kulit, akan dapat mengganggu aliran darah dan menimbulkan penyakit lepra atau kusta. Demikian di antara alasan hukum makruhnya air musyammas digunakan untuk bersuci. Dari keterangan ini pun diterangkan bahwa air yang ditempatkan pada wadah logam yang kemudian direbus hingga bermunculan kerak-kerak logam bercampur dengan air dengan sebab panas api dari bawah. Maka hukum penggunaannya dalam rangka untuk bersuci adalah makruh. Hukum makruh ini adalah ketika masih ada air lainnya selain air panas semacam ini. Adapun jika dalam keadaan waktu shalat sudah sangat mepet hampir habis, dan yang ada hanya air musyammas ini, maka wajib menggunakan air ini untuk bersuci. Adapun jika dampak bahaya penggunaan air ini benar-benar diyakini dapat membahayakan dirinya, tentunya dari sisi kesehatan, maka hukumnya haram menggunakannya.
Namun apabila panas air tersebut hilang (berubah menjadi dingin) maka kemakruhannya menjadi hilang. Namun hal ini berbeda dengan Imam Nawawi, beliau berpendapat bahwa tidak ada kemakruhan sama sekali menggunakan air ini. Dan hukumnya dimakruhkan juga menggunakan air yang sangat panas ataupun sangat dingin di dalam bersuci. Tentunya ini berkaitan juga dengan kesehatan dan kemaslahatan diri.
- Air yang suci pada zatnya namun tidak dapat digunakan untuk mensucikan yang lainnya. Air ini disebut dengan air musta’mal, yaitu air yang telah digunakan untuk menghilangkan hadats atau najis, dengan catatan:
- tidak berubah warna, bau, dan rasanya. Namun jika sampai berubah (warna, bau, dan rasanya) maka jadinya air mutanajjis (air yang terkena najis).
- Timbangan air tidak melebihi kadar sebelum dipakai untuk mensucikan setelah diperkirakan banyaknya yang diserap. Sebagai contohnya adalah kita punya air sebanyak satu ember 5 literan, lalu kita gunakan untuk mencuci sarung yang ada najisnya, kemudian air itu kita tampung, maka hukum air yang ditampung ini hukumnya tetap suci asalkan:
- Tidak berubah warna, bau, dan rasanya.
- Tidak bertambah timbangannya. Namun jika bertambah timbangannya, maka jadinya ini tidak suci lagi. Contohnya air satu gelas kalau dipakai untuk mencuci harusnya sisanya satu gelas kurang. Tapi kalau sisanya malah sama seperti sebelumnya, maka sudah dipastikan air tersebut bertambah. Karena sudah bercampur dengan kotoran.
Dan air yang berubah, yaitu termasuk dari pembagian ini adalah air yang berubah salah satu dari sifat-sifatnya karena bercampur dengan zat/benda suci dengan perubahan yang mencegah kemutlakan nama air. Maka sesungguhnya air ini hukumnya suci namun tidak dapat digunaka untuk bersuci, baik perubahannya itu nyata maupun tidak.
Catatan: Termasuk air yang suci namun tidak dapat digunakan untuk bersuci adalah air yang berubah salah satu dari sifatnya (bau, rasa, dan warna) karena bercampur dengan benda/zat yang suci, dan perubahannya menjadikan kemutlakan air hilang. Berarti maknanya perubahannya itu banyak. Jadi kesimpulannya adalah kapan saja ada air namun berubah karena ada benda/zat suci yang mencampurinya, dan dengan perubahan yang banyak, maka air tersebut jadinya suci tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci. Sebagai contohnya: ada air yang dicampur dengan sabun cair yang akhirnya bau air tersebut menjadi wangi. Maka air ini berarti sudah berubah karena asalnya tidak wangi. Maka kita lihat perubahannya apakah banyak atau sedikit. Kalau perubahannya itu banyak dan yang mencampurinya itu benda suci maka air tersebut namanya suci tapi tidak mensucikan. Namun kalau perubahan air tersebut hanya sedikit, maka berarti tetap suci dan dapat mensucikan. Akan tetapi jika air tersebut perubahannya karena bercampur dengan zat/benda yang tidak suci (najis), maka air ini menjadi mutanajjis (air yang terkena najis), sehingga hukumnya najis. Kalau air ini perubahannya karena bercampur dengan benda/zat suci namun bukan mukholith (benda cair) tetapi mujaawir (benda padat), maka tetap hukumnya suci dan dapat mensucikan. Misalnya air tersebut dimasukin kayu wangi seperti kayu gaharu, maka hukumnya tetap suci dan mensucikan.
Kemudian perubahan yang membuat air tidak bisa digunakan untuk bersuci sifatnya umum, artinya baik perubahannya itu nyata maupun tidak. Gambaran dari perubahan yang tidak nyata adalah seperti bercampurnya air tersebut dengan cairan yang sama dengannya, yakni sama di dalam sifatnya, seperti air bunga mawar yang hilang baunya dan air musta’mal (air bekas digunakan bersuci).
Kemudian jika perubahannya tidak mencegah kemutlakan nama air (air mutlak), dengan sebab bahwa perubahannya karena bercampur dengan benda/zat yang suci itu sedikit, atau perubahannya karena bercampur dengan benda/zat yang sama dengannya di dalam sifatnya, dan diperkirakan zat yang sama dengan air itu menyelisihi/berbeda dan tidak merubahnya, maka hal itu tidak merusak kesuciannya.
Catatan: Jadi kalau perubahannya hanya sedikit, atau perubahannya karena sebab bercampur dengan cairan yang sama (dalam sifatnya), namun diperkirakan tidak merubahnya, maka kesuciannya tidak hilang, sehingga air tersebut bisa digunakan untuk bersuci.
Dan pengarang mengantisipasi dengan mengungkapkan: “jika yang mencampuri air tersebut adalah benda suci yang berdampingan dengannya (benda padat), maka sesungguhnya air itu senantiasa suci dan dapat mensucikan, walaupun perubahannya banyak.” Sebagai contohnya: Jika di pinggir kali ada bangkai ayam yang baunya menyengat sehingga membuat air yang di kali tersebut menjadi ikut berubah baunya, maka hukum air tersebut tetap suci dan mensucikan karena ia tidak bercampur dengan bangkai tersebut, hanya berdampingan. Kecuali bila bangkai ayamnya masuk langsung ke dalam air itu baru bisa dikatakan air itu najis. Kemudian pengarang melanjutkan ungkapannya: “dan hal itu berlaku sama dengan air yang berubah karena bercampur dengan benda/zat yang memang tidak bisa dipisahkan dengannya seperti; tanah, lumut, dan benda yang ada di tempat menetap dan mengalirnya air. Dan air yang berubah karena diam menggenang terlalu lama, maka ia tetap dihukumi suci dan mensucikan.”
- Air najis, yakni air yang terkena najis. Air yang terkena najis terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:
- Air yang jumlahnya sedikit dan terdapat najis di dalamnya baik dalam keadaan berubah ataupun tidak. Air jumlahnya sedikit apabila volumenya kurang dari 2 qullah.
Catatan: Setiap ada air yang volumenya kurang dari 2 qullah, maka itu namanya air yang sedikit. Sedangkan kalau sudah 2 qullah atau lebih, maka itu namanya air yang banyak. Air yang sedikit ini ketika bertemu/bercampur dengan najis maka seketika itu hukumnya berubah menjadi najis, baik berubah maupun tidak.
Dan dikecualikan dari bagian ke-2 ini, yaitu bangkai yang tidak memiliki darah yang mengalir ketika dibunuh atau disobek anggota tubuhnya, seperti lalat, dengan catatan:
- Tidak sengaja dimasukkan ke dalam air.
- Tidak merubah sifat air tersebut (bau, rasa, dan warnanya).
Dan hal ini berlaku sama dengan najis yang tidak kelihatan, maka masing-masing dari keduanya (bangkai yang tidak punya darah mengalir dan najis yang tidak terlihat) tidak dapat membuat cairan yang suci menjadi najis.[2] Dan dikecualikan pula gambaran-gambaran yang telah disebutkan tadi di dalam kitab-kitab yang panjang-panjang keterangannya.
Pengarang memberikan isyarat/penjelasan untuk bagian ke-2 (b) dari bagian ke-4 ini dengan ungkapannya: “Atau air tersebut jumlahnya banyak, yaitu 2 qullah atau lebih, akan tetapi berubah ketika kemasukan najis, baik perubahannya itu sedikit ataupun banyak, maka seketika itu air menjadi najis”.
Kesimpulan:
- Air yang banyak (2 qullah/lebih), lalu kemasukan najis kemudian air tersebut berubah walaupun sedikit, maka langsung hukumnya menjadi najis.
- Air yang sedikit (-2 qullah) lalu kemasukan najis, maka hukumnya langsung najis walaupun tidak berubah. Kalau perubahannya banyak maka dihukumi najis dan menajiskan.
2 qullah setara dengan ±500 ritl Baghdad menurut pendapat yang kuat. Satu ritl Baghdad menurut Imam Nawawi setara dengan 128+ dirham. Dan pengarang tidak menulis bagian yang ke-5, yaitu air yang dapat digunakan untuk bersuci namun haram hukum menggunakannya, seperti; berwudhu menggunakan air milik orang lain tanpa izin, atau berwudhu menggunakan air yang disediakan untuk diminum.
[1] Seperti daerah pinggiran dataran tinggi Yaman, Hijaz, dan yang lainnya. Apapun di daerah yang cuacanya tidak sangat panas, seperti di Mesir, atau yang cuacanya dingin, seperti di wilayah Syam, atau yang beriklim tropis seperti Indonesia, maka tidaklah makruh hukumnya air musyammas digunakan untuk bersuci.
Bayu Widianto
Panggang, 21 Oktober 2022