Pendidikan

Dzikir, Kecerdasan, dan Pemahaman

Dzikrullah atau mengingat Allah adalah output dari kecerdasan sebagaimana ilmu itu outputnya. Makannya Islam adalah semesta ilmu, tinggal kita mau mengganinya ataukah tidak, tapi Islam itu sendiri bukan ilmu karena dia sumbernya atau mata airnya. Dan Islam itu sebenarnya dalam pembahasan ini kita pusatkan kepada Rasulullah dan makhluk hidup dengan seluruh sistem kehidupan dengan darah daging, dengan urat syaraf, jiwa, perasaan, hati, dan segala macam dalam satu kesatuan yang utuh yang lebih dari al-Qur’an. Kalau al-Qur’an kan tidak ada darah yang mengalir, tidak ada hati yang berdebar, tidak ada kaki yang tersandung, dan tidak ada telinga yang mendengar karena bagaimanapun al-Qur’an itu bukan makhluk hidup. jadi Rasulullah adalah kelengkapan yang luar biasa dari al-Qur’an, Rasulullah adalah al-Qur’an yang hidup atau al-Qur’an berjalan. Nah karena kita mengacu pada Rasulullah, kepada Nur Muhammad, kepada makhluk yang paling disayang-sayang sama Allah dan paling dilestarikan sebagai master best-Nya, maka sekarang kalau kita ditanya soal dzikrullah itu sebenarnya adalah output dari kecerdasan. Kecerdasan itu bukanlah pengetahuan namun kecerdasan adalah suatu getaran di dalam sistem syaraf kita yang membuat kita mempunyai pengetahuan, ilmu, dan sebagainya. Dalam kata lain kecerdasan adalah keempat watak dari Rasulullah Muhammad Saw, yaitu sidiq, amanah, tabligh, kemudian yang keempat adalah fathonah. Nah kalau ini digambarkan dalam wilayah pendidikan formal/perkuliahan ibaratnya kalau kuliah itu satu tahun kuliah sidiq, satu tahun kuliah amanah, satu tahun kuliah tabligh, dan satu tahun kuliah fathonah maka KKN-nya adalah kecerdasan itu tadi. Kita mengingat Allah karena kita memiliki kecerdasan untuk mengingat-Nya. Kita mempunyai suatu mekanisme intelektual dan rohaniyah sedemikian rupa sehingga hasilnya adalah kita mengingat Allah, dan bukan mengingat Allah sebagai pohonnya tapi sebagai buahnya.

Nah tetapi di dalam struktur atau urut-urutan wataknya Rasulullah yang nomor satu adalah kesungguhan. Kalau orang sekarang yang dikagumi adalah hebat, pintar, berkuasa, kaya, dan seterusnya, padahal itu semua tidak menjadi prioritas Rasulullah karena yang diutamakan oleh Rasulullah adalah kesungguhan hidup (boleh kesungguhan berpikir, boleh kesungguhan cinta, boleh kesungguhan hati, dan boleh kesungguhan apapun yang intinya adalah kesungguhan). Itulah yang dinamakan sidiq. Jadi shodaqoh adalah output dari kesungguhan manusia yang memahami bahwa dia membutuhkan untuk saling memberi satu sama lain. Nah sifat Rasulullah yang pertama itu kan bukan alim, bukan hebat, bukan aziz, dan bukan sakti tapi sidiq yaitu kesungguhan. Sebenarnya kita langsung bisa bercermin dan sebenarnya bangsa Indonesia atau umat Islam kelemahannya adalah soal kesungguhan. Jadi ternyata kalau kita mau belajar dari Rasulullah tanda keislaman kita yang nomor satu ialah kalau kita sungguh-sungguh (makan sungguh-sungguh, masak sungguh-sungguh, beristri sungguh-sungguh, berkeluarga sungguh-sungguh, serta melakukan apa saja dengan sungguh-sungguh). Perlu kita ketahui bahwa sungguh-sungguh itu tidak harus tegang. Pelawak yang sungguh-sungguh bukan berarti pelawaknya tidak lucu. Bermain sepak bola yang sungguh-sungguh bukan berarti dia terus tegang tidak bisa ke kanan dan ke kiri oper bola. Jadi kesungguhan tolong dipahami secara tepat.

Kemudian yang selanjutnya setelah sidiq adalah amanah. Amanah itu adalah aplikasi kesungguhan menuju kemaslahatan. Misalnya kita adalah seorang pemanah atau pelempar maka kita bisa berlatih sungguh-sungguh untuk melakukan pemanahan maupun lemparan sehingga pemanahan atau lemparan kita bisa tepat mengenai sasaran. Jadi amanah adalah moralitas dari output kesungguh-sungguhan. Kita sungguh-sungguh belajar, sungguh-sungguh hidup, sungguh-sungguh berdagang, dan yang lainnya, tapi output atau orientasinya adalah kemaslahatan sehingga kita amanah. Amanah itu artinya memenuhi perjodohan, memenuhi harmoni, memenuhi pernikahan, dan unsur-unsur dalam kehidupan. Ya kalau laki-laki kawin sama wanita, kalau mau mendidih airnya ya pakai api, kalau sambel bawang ya untuk sayur bening. Jadi itu semua adalah perjodohan-perjodohan atau harmoni-harmoni dari yang gede sampai yang kecil-kecil seperti sayur. Nah Rasulullah adalah orang yang sangat membangun harmoni dalam hidupnya. Tetapi ilmu dan pengetahuan tentang harmoni ini sangat jelas bahwa bahasanya bukan harmoni tapi amanah. Sekarang kalau cabe dicampur dengan tai kan namanya tidak amanah. Atau nasi goreng kok dikasih sayur lodeh kan juga tidak amanah. Jadi amanah itu sebegitu luasnya. Tapi sebelum amanah harus punya yang diamanahi apa, yaitu hasil dari kesungguh-sungguhan atau sidiq tadi. Setelah itu dia juga harus punya strategi yang disebut tabligh. Tablgih itu kita mungkin sudah amanah; mau bershadaqah, mau menolong orang, tapi kita tidak tabligh (tidak punya ketepatan sosial). Misalnya kita punya lembaga dana, kita punya lembaga shadaqah, kita punya lembaga duafa’ atau segala macam tapi tidak kita sampaikan secara amanah dan tidak tabligh (artinya bukan itu yang memerlukan). Oleh karena itu agar bisa tabligh maka sifat Rasulullah yang keempat adalah fathonah, maka diperlukan kecerdasan. Kalau kita ngomong bahwa Islam bukanlah ilmu tetapi dia adalah sumber ilmu, dia adalah mata air ilmu, maka mata air itu bisa dibuka, bisa dipancarkan, bisa digali, dan bisa dipancurkan dengan alat yang namanya fathonah (kecerdasan). Nah dzikrullah itu adalah output dari kecerdasan manusia. Salah satu disiplin dari kecerdasan adalah ingat. Jadi sebenarnya kurikulum pendidikan Islam nurutin itu aja; anak diajari sungguh-sungguh, diajari amanah, kemudian diajari tabligh, kemudian aka nada hasil dari fathonahnya. Jadi orang ingat Allah (dzikrullah) itu adalah pararel atau berbanding lurus dengan tingkat kecerdasannya, semakin dia cerdas maka semakin dia sering ingat Allah. Abu Bakar Ash-Shidiq memerlukan proses budaya atau kultural untuk ingat Allah. kalau Umar membutuhkan peristiwa-peristiwa radikal dan tabrakan-tabrakan sehingga dia sadar Allah. Kalau Utsman Bin Affan itu membutuhkan proses-proses keseimbangan (timbang-menimbang) untuk menemukan Allah. kalau Ali itu dia fathonah, dia punya kecerdasan yang automatic, pokoknya apapun hasilnya adalah dzikrullah. Jadi Ali lihat langit ingat Allah, lihat daun ingat Allah, lihat apa saja ingat Allah, meskipun nanti ada proporsi amanah bahwa kalau di dalam kamar mandi jangan menyembut Allah, jangan ngaji, dan seterusnya. Itu soal tablighnya. Tapi soal sidiqnya (kesungguhan) tadi kan bekal dari kecerdasannya. Nah Ali Bin Abi Thalib adalah contoh dari manusia yang sangat cerdas sehingga Rasulullah menyebutnya sebagai Babul’ilmi. Dzikrullah itu sebenarnya urusan atau dialekti dengan tingkat kecerdasan dan kecerdasan itu juga tidak bisa begitu saja karena dia harus punya infrastruktur yang namanya kesungguhan, terus tradisi untuk presisi terhadap amanatnya kemudian terbiasa untuk menghitung tablighnya, sehingga dia kecerdasannya akan sangat akurat, maka dzikrullahnya juga akan sangat runcing menuju rohaniyahnya Allah Swt.

 

Ditulis Oleh Bayu Widianto

Panggang, 21 Oktober 2022

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button