Pendidikan

Dinamika Islam Nusantara

DINAMIKA ISLAM NUSANTARA

Oleh: Suharsono, S.Pd., M.Pd

Islam merupakan agama yang bersifat universal. Artinya, Islam mempunyai misi dan ajaran yang tidak hanya ditujukan kepada satu golongan atau Negara tertentu melainkan untuk seluruh umat manusia bahkan jagat alam raya. Namun dalam praktiknya, pemaknaan universalitas Islam tidak difahami secara konprehensif oleh kalangan umat muslim sendiri. Muncul kelompok yang memaknai bahwa ajaran yang dibawa Nabi Muhammad  saw yang nota-bene berbudaya arab adalah final, sehingga harus diimplementasikan sebagaimana adanya. Disisi lain, terdapat golongan yang mendefinikan universalitas Islam sebagai ajaran yang tidak terikat ruang dan waktu serta tempat, sehingga bisa masuk ke budaya apapun.

Kelompok pertama mempunyai ambisi untuk menyelaraskan seluruh budaya yang ada di dunia menjadi satu sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Sehingga budaya yang berbeda diklaim bukan bagian dari Islam. Kelompok ini disebut sebagai kelompok fundamentalis (Kasdi 2000, 20). Sementara golongan lain hendak mengahadirkan Islam sebagai nilai yang bisa mempengaruhi seluruh budaya yang ada. Islam terletak pada nilai, bukan fisik dari budaya tersebut. Kelompok ini dinamai kelompok substantif. Di sisi lain, terdapat kelompok yang berusaha menengai keduanya dengan berpendapat bahwa ada sisi Islam yang bersifat substantif dan literal.

Semenjak kran demokrasi terbuka lebar dengan simbol jatuhnya rezim Orde Baru, Indonesia menjadi lahan empuk bagi banyak ideologi berkunjung. Bahkan kunjungan tersebut belakangan mengarah pada agenda bermukim hingga menggeser identitas kebangsaan. Ideologi yang dimaksud utamanya mengenai gagasan keagamaan (Islam) berasal dari dua arah berbeda, Islam Arab dengan gaya fundamentalisme dan Ideologi Barat dengan pola liberalismenya. Lebih jauh, kehadiran kedua ideologi impor ini menyebabkan umat sulit membedakan antara budaya dan agama. Pada titik ini, gagasan keislaman berbasis identitas lokal menjadi lokomotif baru untuk melayani kunjungan ideologi-ideologi tersebut. Nampaknya, dari sinilah istilah Islam Nusantara mendapatkan nilai subtansinya. Kendati demikian, Islam Nusantara menjadi trend lebih mencuat pada tahun 2015 lalu.

Publik diramaikan oleh pagelaran Isra Mi’raj di Istana Negara yang menampilkan pembacaan ayat suci al Qur’an dengan langgam Jawa. Keramaian tersebut lebih terasa di media massa dan sosial. Banyak kelompok yang menganggap peristiwa itu sebagai sesuatu yang menyesatkan, ada juga pemahaman dari kelompok berbeda yang memahaminya sebagai sesuatu yang khas dan positif. Kedua kelompok saling bersahut-sahutan dengan klaim kebenaran masing-masing. Tak heran, suasana menjadi gaduh. Terlalu jelas, kelompok pertama terjebak pada Arabsentris.

Yogyakarta, 03 Desember 2022

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button