Pendidikan

Badhan: Tradisi Bulan Syawal pada Masyarakat Muslim Kota Salatiga

Badhan: Tradisi Bulan Syawal pada Masyarakat Muslim Kota Salatiga

Lebaran merupakan tradisi umat Islam Indonesia yang dirayakan ketika mereka mengakhiri puasa selama sebulan penuh. Suasana suka cita terlihat dan terekspresi dari raut muka, prilaku dan suasana yang hanyut dalam kegembiraan. Peristiwa tersebut dipandang oleh peneliti sebagai sebuah peluang dan kesempatan jangan sampai luput apalagi tidak terdokumentasi dengan baik.
Sebagai akademisi, penulis merasa gelisah dengan praktek yang biasa dari tahun ke tahun peneliti saksikan, yaitu praktek mereka yang tidak segan-segan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit demi melebur dan melaksanakan praktek saling memaafkan dalam bentuk silaturrahmi. Pada sisi lain tuntunan al-Quran jelas bahwa harus disegerakan berlomba-lomba memohon ampunan dari Allah yang tidak membutuhkan pengeluaran materi secara berlebihan.
Dari gambaran di atas, penulis merasa tergerak untuk melakukan penelitan yaitu tradisi Badhan, istilah bahasa Jawa yang mempraktekan silaturrahmi, menyambung tali persaudaraan dengan saling meminta maaf atas segala khilaf dan dosa yang sudah diperbuat. Tradisi ini biasa dipraktekkan selepas umat muslim melaksanakan puasa selama sebulan penuh. Hal yang menarik adalah, tradisi ini dilakukan oleh orang yang lebih muda mengunjungi keluarga yang lebih tua. Padahal, Islam mengajarkan bahwa permintaan maaf dilakukan oleh orang yang bersalah bukan dilakukan orang yang lebih muda terhadap yang lebih muda usianya.
Untuk memperdalam permasalahan yang berisi kegelisahan akademik peneliti, maka peneliti akan mengutarakan permasalahan pokok. Persoalannya seputar upaya umat Islam Kembangarum Kota Salatiga dalam menjaga tradisi Badhan yang dilakukan pada bulan Syawal, bulan kesepuluh dalam tahun Hijriyah sebagai praktek atas pemahaman konsep al-Quran tentang saling memaafkan kesalahan. Penelitian terfokus pertama untuk menemukan data tentang konsep al-Quran tentang memaafkan kesalahan. Kedua, untuk menemukan data potret kehidupan sosial warga muslim Kembangarum pada sebulan sebelum dan setelah bulan Ramadhan. Ketiga, untuk menemukan data tentang praktek umat Muslim Kota Salatiga dalam melestarikan tradisi Badhan.

Badhan, tradisi lebaran, Halal bihalal
Tradisi Badhan, syawalan, lebaran atau kegiatan halal bihalal sebagai aktivitas umumnya terjadi di Indonesia diselenggarakan pada bulan tertentu menurut sistem kalender Islam. Acara tahunan sebagai peleburan dosa, permohonan maaf kepada tetangga mulai di lingkungan RT selanjutnya di tingkat RW. Aktivitas keseharian mereka selama satu tahun diakhiri dengan permohonan maaf di antara warga seolah mereka terlahir dari kilometer nol.
Bagi yang beragama Islam, setelah sebulan penuh mereka melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan, mereka mengakhiri aktivitasnya dengan malam takbiran. Takbiran dilakukan mulai waktu Magrib akhir di bulan Ramadhan dan semalaman suntuk sampai mereka mengawali shalat shalat idul fitri pada pagi harinya. Shalat ‘Ied al-Fitri merupakan kategori shalat yang dianjurkan untuk dilakukan.
Setelah selesai rangkaian shalat iedul Fitri mereka mengakhiri dengan kegiatan jabatan tangan yang oleh sebagian orang menyebutnya dengan salaman. Caranya mereka keliling membentuk barisan berjejer seperti dalam shalat berjamaah. Seorang Imam langsung memandu dan mengawali dengan cara berjalan menghampiri jamaah berjabat tangan satu persatu diikuti jamaah di belakangnya dan berkeliling dari mulai barisan depan ke barisan berikutnya sampai yang terakhir. Barisan perempuan terpisah tersendiri tidak berbaur dengan laki-laki dan membentuk barisan dengan pola sama yang dilakukan oleh barisan laki- laki. Selesai dari acara shalat iedul fitri di masjid mereka pulang ke rumah untuk melakukan sungkeman, prosesi meminta maaf yang dilakukan oleh anak terhadap kedua orang tuannya, oleh seorang isteri terhadap suaminya, oleh anak sebagai adik terhadap kakaknya.
Tradisi Badhan yang dilakukan di Salatiga melibatkan semua elemen masyarakat dan keterlibatan seluruh warga walau berbeda agama. Mereka mengemas dengan acara halal bihalal yang biasanya dilakukan pada hari ke sepuluh setelah shalat idul fitri bertempat di Balai RW. Mereka berbaur memperlihatkan rasa senang dan bahagia. Biasanya setiap RT juga menyelenggarakan di masing-masing wilayahnya pada setelah hari ke tujuh atau hari yang sudah disepakati bersama. Mengingat untuk mengakomodasi warga pendatang atau mereka yang melanjutkan puasa sunah enam hari dari tanggal dua sampai tanggal tujuh Bulan Syawal.
Badhan, kata yang sudah merupakan kata istilah dalam lokal bahasa Jawa badha artinya lebaran, perayaan. Kata Badhan merupakan kata benda dari kata kerja badha yang mendapat tambahan akhiran an. Sebagian pendapat mengatakan berasal dari bahasa arab yang sudah dijawakan yaitu bakdha yang berarti setelah. Maksudnya setelah melakukan puasa sebulan penuh. Walaupun demikian biasanya kegiatan ini dirayakan oleh semua orang baik yang sudah melalukan puasa secara penuh, sebagian, atau tidak sama sekali. Kemeriahan lebaran dirasakan semua tingkatan masyarakat. Kesibukan terjadi di masyarakat saat perayaan lebaran. Sedangkan material yang biasanya ada dalam Badhan seperti pasum, pisang, ketupat, kethan, dan apem.
Pemaknaan Material Makanan dalam tradisi Badhan
Bancakan atau kenduren merupakan kumpulan aktivitas masyarakat untuk sebuah selamatan. Biasanya dalam acara tersebut dihidangkan beberapa makanan yang lazim. Makanan yang dimaksud terdapat lima unsur yang disarankan ada untuk dipenuhi, yaitu apem, pasung (apem yang dililit daun pisang atau daun nangka yang dibentuk kerucut), gedhang atau pisang, ketan, dan kolak.
“Menurut penuturan guru ngaji saya”, demikian dikatakan salah seorang warga Salatiga, Mbah Tajab (75th), pada jaman dahulu, para wali berusaha mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat dengan cara yang telah mereka mengerti, salah satunya adalah memodifikasi konsep dan bentuk sajen. Sebelum mengenal Islam, masyarakat telah mengenal dinamisme. Salah satu ritual yang ‘wajib’ mereka jalani adalah memberikan persembahan alias sajen kepada kekuatan tertinggi yang mereka tahu. Saat itu, mereka menganggap bahwa para arwah nenek moyang ataupun lelembut merupakan the supreme power. Untuk mengatasi hal tersebut, seorang wali mengubahnya dengan kelima unsur di atas dan meluruskan bahwa the supreme power adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Pada acara nyadran misalnya berbagai makanan simbolik pun diadakan. Makanan seperti apem dan pasum. Tidak hanya itu tetapi juga ada gedhang, kolak dan ketan. Konon istilah-istilah tersebut sebenarnya berasal dari bahasa Arab. Apem berasal dari kata’afwun atau ampunan. Gedhang berasal dari kata ghadan yang berarti bersegeralah, besok. Ketan berasal dari kata khatha’an atau kesalahan. Pasung berasal dari kata fa shaum yang berarti segeralah berpuasa. Sedangkan kolak berasal dari kata khala atau kosong.
Sedangkan ketupat merupakan simbolisasi dari ngaku lepat pengakuan salah. Sejarah ketupat menurut salah satu riwayat adalah kanjeng Sunan Kalijaga yang pertama kali memperkenalkan pada masyarakat jawa. Sunan Kalijaga membudayakan 2 kali bakda, yaitu bakda lebaran dan bakda kupat. bakda kupat dimulai seminggu sesudah lebaran. pada hari yang disebut bakda kupat tersebut, di tanah jawa waktu itu hampir setiap rumah terlihat menganyam ketupat dari daun kelapa muda
Pemaparan tentang material makanan dalam tradisi Badhan di atas dapat membentuk sebuah pesan. Jika digabungkan rangkaian metaforik dari makanan di atas akan bermakna “bersegeralah memohon ampunan dari segala kesalahan dan segeralah berpuasa agar semuanya kembali dalam keadaan kosong bersih dari dosa”. Pesan sederhana yang mengandung makna mendalam, sehingga akan mendorong setiap orang untuk sejenak introspeksi diri (muhasabah).

Aplikasi: Tradisi Badhan Cerminan Masyarakat Religius
Berangkat dari salah satu ayat yang biasa disampaikan oleh penceramah yaitu Quran Surat (QS) Ali Imran ayat 133 “..dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”. Setelah memahami dari beberapa ayat dan salah satunya ayat di atas maka ada beberapa tahap pertama taubat (taubat), kedua, maaf (‘afw), ketiga lapang dada (ashafh) berjabatan tangan, Keempat, gufron (pengampunan dan perlindungan).
Demikian juga dapat digali dari ajaran Tasawuf. Tiga tahapan dalam ajaran Tasawuf sebagai proses pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Suci terungkap dalam tiga laku yaitu Takhaali (proses memohon ampunan dengan mengosongkan diri dari perbuatan tercela), Tahalli (berbuat baik menghiasi diri dengan perbuatan terpuji) dan Tajalli (menjadi manusia sejati, menyatu dengan sifat-sifat yang maha suci)
Pemahaman dari lebaran menunjukkan ada empat laku dalam tradisi lebaran, Lebaran bermakna usai, menandakan berakhirnya waktu puasa. Berasal dari kata lebar yang artinya pintu ampunan telah terbuka lebar. Lebar artinya kita akan bisa mengakhiri dari kemaksiatan. Luberan bermakna meluber atau melimpah. Sebagai simbol ajaran bersedekah untuk kaum miskin. Pengeluaran zakat fitrah menjelang lebaran pun selain menjadi ritual yang wajib dilakukan umat Islam, juga menjadi wujud kepedulian kepada sesama manusia. Luber artinya luber dari pahala, luber dari keberkahan, luber dari rahmat Allah SWT. Leburan merupakan momen saling melebur dosa dan kesalahan kita akan melebur habis karena setiap umat Islam dituntut untuk saling memaafkan satu sama lain. Lebur artinya lebur dari dosa. Laburan berasal dari kata labur atau kapur. Kapur adalah zat yang biasa digunakan untuk penjernih air maupun pemutih dinding. Maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batin satu sama lain. Labur artinya bersih sebab bagi orang yang benar-benar melaksanakan ibadah puasa, maka hati kita akan dilabur menjadi putih bersih tanpa dosa.
Pemaknaan dari makanan simbolik, Apem berasal dari kata’afwun atau ampunan. Gedhang berasal dari kata ghadan yang berarti bersegeralah, besok. Ketan berasal dari kata khatha’an atau kesalahan. Pasung berasal dari kata fa shaum yang berarti segeralah berpuasa. Sedangkan kolak berasal dari kata khala atau kosong. Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari Ngaku Lepat dan Laku Papat. Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Laku papat artinya empat tindakan yaitu lebar, lebur, luber dan labur. Maka, jika digabungkan rangkaian metaforik dari makanan di atas akan bermakna “bersegeralah memohon ampunan dari segala kesalahan dan segeralah berpuasa agar semuanya kembali dalam keadaan kosong bersih dari dosa”.
Sebagai pemahaman penyempurna yang tidak boleh dilepaskan juga adalah pemahaman konsep orang jawa terhadap alam. Tentang prinsip keselarasan yang membuat larangan mutlak terhadap usaha untuk bertindak hanya atas dasar kesadaran dan kehendak seorang saja. Prinsip rukun dan hormat menuntut agar sesorang bersedia untuk menomor duakan kepentingan pribadi untuk mempertahankan keselarasan masyarakat.

Oleh : Suharsono, S.Pd., M.Pd.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button