Pendidikan

Aparatur Hukum Tuhan

Sependek pengetahuan kita tentang moral adalah bahwa moral itu ada evolusinya. Kalau kemarin kita membahas evolusi mulai dari data, nah sekarang di sini kita membahas evolusi mulai dari value (nilai). Nilai adalah sesuatu yang dianggap penting oleh pemiliknya, dan pada tahap ini kita belum berbicara soal benar atau salah. Mungkin ada satu hal nilai yang universaly dianggap benar, yaitu urusan hidup dan mati bahwa kehidupan itu berharga sehingga jangan sampai mati. Mungkin itu value universal yang bisa langsung kita omongkan bahwa membunuh itu salah, dan hampir semua peradaban sama pendapatnya tentang menghargai kehidupan. Adapun value yang lainnya masih netral karena dianggap penting oleh orangnya bukan karena dia benar atau salahnya. Kemudian value itu bisa berguna untuk membedakan benar-salah, yaitu yang disebut sebagai moral (kemampuan membedakan benar atau salah) dari value yang dia milik. Kalau value setiap orang itu berbeda maka bisa jadi berarti morality setiap orang juga berbeda. Setelah moral baru ada etik, yaitu moral in action, yakni benar atau salahnya itu kemudian dia lakukan dengan bener-bener, walaupun susah tetap dilakukan karena ini hal yang benar. Kalau berbicara soal moral maka kita sama-sama punya morality yang sama. Mungkin secara universaly kita ngomong bahwa korupsi itu buruk, tapi apakah pada punya etik untuk bisa tidak melakukan korupsi karena tahu bahwa itu buruk? Nah kalau bicara hal itu kemudian problem terbesarnya adalah pada etik atau mungkin bisa disamakan dengan akhlak. Jadi bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah dan diactionkan seberapa beratnya itu pun. Nah di sini kita tidak mudah menyamakan karena intrinsiklisme manusia itu unik, sehingga ketika masuk ke dalam society maka ada yang seragam tapi pasti ada yang unik. Kita tidak bisa ngomong “moral itu harus begini” atau “value itu harus begini” karena kalau kita menyeragamkan semua orang maka kita juga secara intrinsic sudah melawan sifat bahwa semua ciptaan itu unik. Misalnya ada feedback bagini bahwa kalau orang menghargai minoritas (setiap manusia) maka yang nomor satu adalah menghargai manusianya terlebih dahulu. Kalau ngomong soal moral maka sebenarnya itu adalah kemampuan untuk membedakan benar dan salah. Terus berdasarkan value apa ini? misalnya korupsi tadi kemudian disandarkan kepada value keluarganya sendiri maka bisa jadi itu bisa jadi bukan lagi korupsi. Kita presisi terhadap kata bahwa kita semua tahu bahwa korupsi itu buruk dan merugikan banyak orang. Tapi konteksnya kan dia mengambil hak yang bukan haknya. Haknya orang banyak diambil untuk kepentingan pribadinya. Ketika pribadinya termasuk keluarganya dia bisa mengambil value yang lain bahwa “aku membela keluargaku kok, dengan cara apapun tidak urusan”. Nah itu pada satu titik tertentu bisa ngomong dia moral (benar salahnya bersandar pada value keluarga). Tapi eda ektensi dari itu bahwa kalau memang kamu keluarga sendiri yang kamu pikirkan maka jangan ambil pada posisi yang berhubungan dengan orang banyak. Urusanmu adalah sama keluargamu tidak usah hidup di society kan gitu jadinya efek berikutnya. Nah ini memang bukan masalah yang simpel untuk dipotret, tapi kalau kita punya pondasi dasarnya kan menjadi enak, yaitu value menjadi moral kemudian menjadi etik. Kita lemahnya dimana, kalau kita value itu seperti wisdom itu tadi, kita tidak tidak bisa ngechek orang valuenya seperti apa, apakah dia sehat akalnya (apakah valuenya konsisten pada setiap kondisi). Konsistensinya juga ada level yang berbeda-beda, yaitu ada yang kelihatan tidak konsisten (prin-plan) tapi sebenarnya dia konsisten di akar yang lain. prin-plan sama strategis itu hampir sama sikapnya, keras kepala dengan teguh juga hampir sama sikapnya, dan itu hanya dia sendiri yang tahu bahwa dia bersandar pada value apa sebenarnya. Dia bisa menjadi sangat tidak konsisten akan tetapi bisa juga menjadi konsisten itu hanya dia sendiri yang tahu. Itu game play yang panjang untuk kita bisa mengetahui orang lain. Maksudnya game play panjang itu sering ketemu, sering ngobrol, sering tahu, sering melihat sikapnya dalam berbagai bidang, lalu kemudian kita punya potret yang jelas. Jadi menilai moralitas orang dari video satu jam pun itu tidak cukup, apalagi cuman sepuluh menit. Kita itu kan sangat mudah dan enak banget menjustifikasi orang, melihat video yang hanya 10 menit sudah membuat kesimpulan “wah berarti dia gini, gini, dan gini”. Sehingga kita jangan stupid (bodoh) dengan menganggap ada sudut pandang slaysingnya seperti itu. Yang merugikan banyak orang secara universal bisa kita ambil bahwa itu memang buruk. Jadi ada personal yang namanya value dan ada personal yang namanya moral, tapi kemudian ketika berkumpul bareng-bareng maka kita butuh penyambung yang seragam agar kita bisa bersandar pada sebuah value tertentu, makanya diciptakan yang namanya hukum. Hukum tidak lagi personal tapi hukum itu universal untuk menjaga kestabilan sebuah society. Karena tanpa ada trust itu (trust yang berguna) maka yang terjadi perdebatan nanti. Masing-masing punya value, masing-masing punya moral, dan masing-masing punya etiknya (nilainya) sendiri-sendiri, terus kemudian apa yang membuat kita bisa bertemu dalam satu rule of the game yang adil? Karena kalau rule of the game-nya tidak adil maka tidak akan maju yang namanya society, tidak akan ada yang namanya kestabilan, dan tidak akan ada yang namanya kepercayaan. Sehingga harus ada rule of the game secara universal yang kita pegang ketika sudah mulai kumpul bareng-bareng. Kemudian dengan itu lahirlah macem-macem evolusi yaitu ada yang namanya hukum adat, ada kesepakatan kelompok, ada hukum Negara, ada hukum kampung, dan seterusnya itu dalam rangka mrmbuat garis merah yang disetujui bersama terhadap value, moral, dan etik. Bukan untuk mengkungkung orangnya, tapi untuk membuat sebuah bus line agar society bisa berdiri di atas pondasi tersebut tanpa menghilangkan personalnya. Nah balance ini yang membuat rebut, yaitu ini diuniversalkan atau dibiarkan personal? Ini yang biasanya kita suka koar-koar “ini harus begini, kamu tidak punya moral, yang bener adalah nilai agama A atau yang bener adalah sistem narasi ini, dan segala macam”. Boleh kayak gitu tapi itu susah lho mencari balance keseimbangan mana yang universal dan mana yang personal. Salah satu perdebatan misalnya adalah hukum agama menggantikan hukum Negara, maka ini bisa mengandung resiko. Kita tidak ngomong hukum Negara itu sempurna, dia pasti tidak mampu menghadapi semua kemungkinan kejadian. Makanya itu dikasih tandom yang namanya akhlak, sehingga yang tidak bisa ditangkap oleh hukum bisa dimitigasi oleh akhlak. Perbedaannya adalah kalau hukum Negara kita tidak secara sukarela masuk. Kalau kita lahir di Negara Indonesia maka kita otomastis langsung patuh terhadap hukum Negara Indonesia, Kalau kita lahir di Negara B maka kita otomatis langsung patuh terhadap hukum Negara B, kecuali kalau pindah Negara baru pindah hukumnya. Tapi kalau agama lebih mudah karena kita yang mendeclare (menyatakan) masuk sebuah hukum tertentu itu pilihan kita, kita masuk hukum ini, kita masuk hukum ini, dan kita masuk hukum ini. Nah selain itu ada perbedaan fundamental di sini yaitu kalau hukum Negara ini tidak mengatur sampai sangat mikro. Adapun kalau hukum agama dia mengatur sangat mikro sampai-sampai pada level cebok menggunakan tangan yang mana, makan menggunakan tangan yang mana, dan harus berhenti makan dan minum kalau bagaimana itu diatur semuanya. Tidak mungkin ada aparat yang bisa menjaga hukum itu sehingga itu diletakkan di rasting pada hakim yang namanya Tuhan. Hukum agama dan Negara ini bukan substitusi tetapi komplementer. Semakin baik orang dan percaya terhadap hukum Tuhan maka semakin tidak dibutuhkan hukum Negara. Semakin hukum Negara gede maka berarti semakin tidak dipercaya manusianya. Mari kita lihat jumlah hukum kita berapa, dan kita bisa melihat keberhasilan kita dalam membangun akhlaknya. Karena semakin banyak hukum berarti semakin rendah akhlak, oleh karena itu harus dijaga dengan hukum, tidak bisa dijaga dengan hati dan kesadaran Tuhan. Di situlah fungsi agama yaitu bukan untuk dipaksakan tetapi untuk menutupi yang tidak bisa dibangun oleh manusia itu sendiri.

By: Bayu Widianto
Panggang, Gunungkidul, Yogyakarta,
22 Oktober 2022

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button