Pendidikan

Ada Kebenaran yang Tidak Bisa Dibuktikan

Untuk memahami dunia kita mempunyai sensor-sensor yang diolah oleh otak yakni mata, telinga, indera-indera, dan seterusnya. Dan tidak pada satu waktu kita mengalami semua hal alias kita pasti mengalami sedikit, sedikit, dan sedikit. Tapi kita memerlukan yang namanya model terhadap dunia, karena tanpa model dunia kita tidak bisa mengantisipasi, memprediksi, dan seterusnya. Anak kecil ketika masih kecil dia belum bisa bicara atau ngomong, dia belajarnya dari pengalaman yakni mencoba membuat model dunia kalau sambal itu pedas, kalau kerupuk itu kayak gini, kalau pernem itu manis dan enak, kalau kursi itu terantuk sakit, kalau pisau itu bisa mengiris, dan seterusnya itu pengalaman yang kemudian dijadikan model di dalam otak agar kita punya ilusi of control terhadap dunia karena kita merasa paham terhadap dunia (oh ini nanti begini dan begini). Nah kemudian ketika kita mampu punya alat lain yang namanya alat komunikasi, maka pengalaman-pengalaman yang dialami oleh orang banyak bisa ikut kita serap dengan jembatan komunikasi walaupun ada limitasi, karena kita mengalami pasti kita menyimpulkan sendiri. Tapi kalau dari tulisan atau dari omongan kita mungkin punya data tapi levelnya tidak seperti mengalami sendiri. Tapi itu juga membantu untuk membuat model dalam kepala. Misalnya salju, berapa orang yang pernah mengalami salju? Tapi konsep itu kita lihat lewat video, film, dan seterusnya maka kita punya bayangan bahwa ada seperti itu sehingga kalau masuk ke sebuah Negara yang sedang musim dingin kita bisa mengantisipasi salju itu seperti apa. Nah ilmu sendiri itu gunanya memang seperti itu, yakni kita mengakui sisi informasi sebanyak mungkin untuk kemudian membuat mental model terhadap dunia agar kita punya respon yang tepat terhadap dunia. Karena kita tahu bahwa kita tidak mungkin mengalami semuanya, makanya perlu mengakui sisi dari pengalaman banyak orang. Problemnya adalah kemudian kalau ilmu ini dianggap sebagai representasi dari dunia itu sendiri. Padahal pada dunia kita hanya bisa mengalami, hanya bisa berinteraksi. Tetapi ilmu yang kita miliki itu hanya model di dalam diri untuk mencoba berinteraksi seakurat mungkin. Misalnya kalau kita ingin terjun atau mandi di sungai maka pasti kita punya mental model bahwa oh ini mungkin sungainya dalam atau dangkal, sehingga saya berani terjun ataukah tidak itu berdasarkan ilmu model yang dimiliki dalam dirinya. Sedangkan orang yang sama sekali tidak punya model tersebut dia akan terkejut dan mengalami syok-syok bahwa ternyata sangat dalam dan dia bisa terseret, dan seterusnya, tapi dari situ dia juga membangun model baru dalam dirinya. Nah setiap pengalaman manusia itu mengakui sisi banyak ilmu sebenarnya, membentuk model dalam dirinya terhadap pandangan terhadap dunia bahwa ada hal-hal yang bisa kita capai, ada hal-hal yang kita mendengarnya dari orang lain, ada hal-hal yang orang lain ekspreimen namun kita tidak, sehingga karena kita tidak mampu eksperimen sedangkan orang lain mampu eksperimen maka kita akan mengatakan “oke ada model seperti itu, walaupun saya tidak mengalami tetapi saya menganggap itu sebagai hal yang lumayan okelah untuk representasi model dunia dalam kepala saya” misalnya. Jadi ilmu itu sebenarnya adalah akumulasi dari apa yang kita alami untuk menjadi model dalam diri manusia. Entah itu biologi, entah itu fisika, entah itu matematika, entah itu ilmu sosial, dan segala macam, kalau dia tidak menghasilkan model maka dia tidak menjadi ilmu. Kalau dia tidak membuat kita lebih siap menghadapi dunia maka itu juga tidak menjadi ilmu alias yang jadi hanya copy paste. Model itu baik sadar maupun tidak sadar dia akan terus  berkembang karena pengalaman kita berkembang terus, kita mengalami hal yang berbeda. Tidak pernah ada pengalaman yang sama dalam kehidupan manusia, kalaupun sama persis pasti waktunya berbeda. Jadi tidak ada satupun yang sama, oleh karena itu pada setiap detik kita mengakui sisi ini terus dan tanpa sadar membangun model dunia dalam diri kita.

Lantas kalau definisi ilmu adalah seperti itu, maka ilmu apa yang paling penting? Ketika ilmu adalah informasi membangun model, maka kemudian yang paling penting adalah ilmu untuk melihat model itu sendiri. Kalau modern menyebutnya sebagai metakognitif, yaitu kita tidak hanya punya kesadaran, tapi kita menyadari kesadaran kita. Jadi kita punya teori kita paham ini, ini mungkin benar tapi juga mungkin salah, tapi kita juga melihat dari luar model itu bahwa mungkin model kita belum benar nih, mungkin pemahamanku belum 100% akurat, mungkin ketika aku belajar dari sana jadi lebih faham aku terhadap keadaan dunia, dan seterusnya. Orang yang tidak memiliki ilmu ini, maka pertumbuhan keilmuannya akan terjadi secara random, dan dia tidak punya metodologi untuk mengembangkan dirinya secara maksimal, ngerem secara pas, dan ngegas secara pas karena dia sendiri tidak tahu mesin mobilnya, dia hanya tahu mengendarai mobil modelnya. Jadi ilmu yang paling penting adalam ilmu tentang ilmu itu sendiri, bukan ilmu biologi, bukan ilmu fisika, dan sejenisnya. Ini sepertinya mudah untuk dibicarakan tapi ini benar-benar hal yang sangat kompleks. Bahkan agama juga menggarisbawahi ini yaitu “siapa mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya”, yakni siapa yang mengenal bisa berjarak kepada dirinya berarti ia mengenal dirinya pada sudut dan jarak yang berbeda melihat dirinya. Dia tidak menggunakan ilmunya sebagai aktor tapi dia juga sutradara terhadap skrip dirinya sendiri (oh ilmuku segini, limitku segini, aku tahunya hanya segini, aku nggak tahu yang itu) sehingga tidak gampang ngomong benar dan salah karena dia tahu sesuatu itu salah bisa jadi karena dia yang salah atau bisa jadi karena mental modelnya belum sampai ke situ, model ilmunya di dalam diri untuk memahami alam belum sampai ke situ, sehingga dia ngomong itu aneh, tapi perlu diketahui bahwa aneh belum tentu salah. Kalau tidak ketemu masuk pada skema kita maka bisa ada dua kejadian, yaitu bisa kita merevisi skema kita agar lebih besar atau bisa jadi memang itu perlu diiknor. Ketika terjadi perdebatan saling menyalahkan maka itu hanya dua kemungkinan kejadian: (1) dia mengetahui apa yang kita tidak tahu, atau (2) kita mengetahui apa yang dia tidak tahu. Kita dapat mengetahui itu jika kita punya kesadaran penuh terhadap model atau skrip dalam diri kita yang dibangun oleh akuisisi ilmu dari kecil baik dari pengalaman, buku, suara orang, nasehat, dan seterusnya. Jangan lupa bahwa ilmu itu tidak berdiri sendiri, kalau dia tidak menjadi model kita dalam kehidupan maka itu bukan ilmu namanya tapi gudang pengetahuan. Perlu diketahui bahwa gudang pengetahuan tidaklah membangun model. Padahal manusia itu dasarnya adalah bagaimana dia melaksanakan model tersebut. Orang tahu sambal pedas perilakunya berbeda dengan orang yang punya model bahwa sambal itu pedas. Kalau orang hanya tahu bahwa sambal itu pedas maka dia bisa menjilat sambal tanpa tahu bahwa sambal ini efek ke diri seperti apa. Tapi kalau orang tahu mental modelnya bahwa sambal itu sepedas apa, maka dia akan memiliki respon yang tepat terhadap sambal berapa sendok yang harus dia ambil dan seterusnya. Mungkin ini agak ruwet, tapi lagi-lagi pada skala apa mau memahami yang kita paksa untuk berbicara ini. Kita mencoba memaparkan dengan sefundamental mungkin model yang kita pahami namun jika tidak dipahami oleh pembaca itu sangatlah mungkin. Tapi kalau kita sadar model dalam diri kita maka mungkin ada sesuatu yang bisa diambil, tidak hanya langsung ngomong salah dan benar. Nah biasanya orang yang paling cepat ngomong kayak gitu dia tidak sadar sama sekali terhadap skrip dalam dirinya. Dia tidak secara sadar membangun ilmu dalam dirinya, yakni ilmu merasuk, merasuk, dan merasuk di tata random. Kemudian yang terakhir adalah bahwa pendidikan sekolah formal belum mengenalkan kita kepada kedisiplinan metakognitif. Kita hanya disodori pengetahuan-pengetahuan yang ditata sedemikian rupa tanpa mengetahui di dalam diri muridnya seperti apa. Pokoknya terus-menerus disodori, disodori, dan disodori, tapi nyatanya anaknya bisa ngetrack sendiri ataukah tidak modelnya seperti apa, anaknya menggunakan ilmu itu sebagai filter pertama untuk menghadapi dunia atau tidak. Nah padahal itu sangatlah fundamental karena pengetahuan bisa berkembang terus dan kita tidak mungkin bisa mengakui sisi semua ilmu di muka bumi. Tapi kita sangat bisa mengontrol model metakognitif di dalam diri kita karena itu di dalam diri kita sendiri, sehingga kita outputnya bisa menjadi manusia yang produktif, bisa menjadi manusia yang memberi kontribusi positif pada society. Karena pada akhirnya sehebat apapun pengetahuan, sehebat apapun ilmu, tetap itu akan dites pada skala sosial yaitu kita punya kontribusi positif ataukah tidak. Jawaban definitif tentang ilmu apa yang paling penting yang dimiliki manusia adalah ilmu tentang ilmu dalam diri kita. Kita tidak hanya menjadi aktor terhadap ilmu kita, tetapi kita juga menjadi sutradara terhadap model ilmu dalam diri kita, dan inilah sebenarnya ilmu yang paling penting untuk dipelajari.

 

Ditulis Oleh Bayu Widianto

Panggang, 21 Oktober 2022

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button