سنن الوضوء
وسننه أي الوضوء (عشرة أشياء)، وفي بعض نسخ المتن “عشر خصال”: (التسمية) أوله، وأقلها: بسم الله، وأكملها: بسم الله الرحمٰن الرحيم. فإن ترك التسمية أوله أتى بها في أثنائه، فإن فرغ من الوضوء لم يأت بها. (وغسل الكفين) إلى الكوعين قبل المضمضة، ويغسلهما ثلاثًا إن تردد في طهرهما (قبل إدخالهما الإناء) المشتمل على ماء دون القلتين، فإن لم يغسلهما كره له غمسهما في الإناء، وإن تيقن طهرهما لم يكره له غمسهما. (والمضمضة) بعد غسل الكفين، ويحصل أصل السنة فيها بإدخال الماء في الفم، سواء أداره فيه مجَّه أم لا، فإن أراد الأكمل مجه. (والإستنشاق) بعد المضمضة، ويحصل أصل السنة فيه بإدخال الماء في الأنف، سواء جذبه بنفسه إلى خياشيمه ونثره أم لا، فإن أراد الأكمل نثره، والجمع بين المضمضة والإستنشاق بثلاث غرف يتمضمض من كل منها ثم يستنشق أفضل من الفصل بينهما. (ومسح جميع الرأس)، وفي بعض نسخ المتن: واستيعاب الرأس بالمسح. أما مسح بعض الرأس فواجب كما سبق، ولو لم يرد نزع ما على رأسه من عمامة ونحوها كمل بالمسح عليها. (ومسح) جميع الأذنين ظاهرهما وباطنهما بماء جديد) أي غير بلل الرأس، والسنة في كيفية مسحها: أن يدخل مسبحتيه في صماخيه، ويديرهما على المعاطف، ويمر إبهاميه على ظهورهما، ثم يلصق كفيه وهما مبلولتان بالأذنين استظهارًا. (وتخليل اللحية الكثة) – بمثلثة – من الرجل، أما لحية الرجل الخفيفة ولحية المرأة والخنثى فيجب تخليلهما، وكيفيته: أن يدخل الرجل أصابعه من أسفل اللحية. (وتخليل أصابع اليدين والرجلين) إن وصل الماء إليها من غير تخليل، فإن لم يصل إلا به كالأصابع الملتفة وجب تخليلها، وإن لم يتأت تخليلها لإلتحامها حرم فتقها للتخليل. وكيفية تخليل اليدين: بالتشبيك الرجلين: بأن يبدأ بخنصر يده اليسرى من أسفل الرجل مبتدئًا بخنصر الرجل اليمنى خاتمًا بخنصر اليسرى. (وتقديم اليمنى) من يديه ورجليه (على اليسرى) منهما، أما العضوان اللذان يسهل غسلهما معًا كالخدين فلا يقدم اليمين منهما، بل يطهران دفعة واحدة. وذكر المصنف سنية تثليث العضو المغسول والممسوح في قوله: (والطهارة ثلاثًا ثلاثًا)، وفي بعض النسخ: “والتكرار” أي للمغسول والممسوح. (والموالاة)، ويعبر عنها بالتتابع، وهي أن لا يحصل بين العضوين تفريق كثير، بل يطهر العضو بعد العضو بحيث لا يجف المغسول قبله مع اعتدال الهواء والمزاج والزنان، وإذا ثلث فالاعتبار بآخر غسلة. وإنما تندب الموالاة في غير وضوء صاحب الضرورة، أما هو فالموالاة واجبة في حقه. وبقي للوضوء سنن أخرى مذكورة في المطولات.
SUNNAH-SUNNAH WUDHU
Sunnah-sunnah wudhu ada sepuluh (10), dan di sebagian redaksi tidak menggunakan kata عشرة أشياء tetapi menggunakan عشر خصال. Catatan: perlu diketahui bahwa kitab ini (taqrib) adalah kitab yang tidak ditulis sendiri oleh pengarangnya. Jadi cara pembuatan kitab ini adalah dengan mendekte murid-muridnya. Jadi Syaikh Abu Syuja’ di saat ingin menulis kitab ini beliau mengumpulkan beberapa muridnya untuk didekte dan ditugaskan untuk menulis, beliau mengucapkan lalu beberapa muridnya menulis. Artinya naskah pertama kitab ini ada beberapa naskah yang tidak jarang antara satu naskah dengan naskah yang lain memiliki perbedaan kata. Seperti di bab yang telah dibaca, menjelaskan tentang kesunahan wudhu, ternyata di dalam satu naskah menggunakan kata ‘asyrotu asyaa’, dan di naskah yang lain menggunakan ‘asyru khisool. Ini tentunya bila kita tahu cara pengarang menulisnya, kita bisa sangat memaklumi, karena bisa jadi antara satu murid dengan murid yang lain mereka menangkap ucapan pengarang berbeda. Jadi walaupun memang yang mengucapkan satu, tetapi berhubung yang menulis beberapa orang, maka ada kemungkinan mereka mendengarkan ucapan dari pengarang dengan pendengaran yang berbeda.
Jadi sunnah-sunnah wudhu itu ada sepuluh (10) + 2, yaitu:
1. Mengucapkan basmalah sebelum berwudhu.
a. Mengucapkan basmalah ini tidak diharuskan untuk mengucapkan sempurna, tetapi untuk mendapatkan pokok kesunnahan wudhu cukup mengucapkan bismillah. Namun kalau ingin mendapatkan kesunnahan yang sempurna, maka harus dibaca lengkap (bismillahirrahmaanirrahiim).
b. Waktu pengucapan basmalah ini dilakukan sebelum berwudhu. Akan tetapi bila seseorang tidak/belum mengucapkan basmalah sebelum berwudhu, maka basmalah itu boleh dilakukan di tengah-tengah wudhu, asalkan wudhunya belum selesai. Namun bila sudah selesai berwudhu maka kesunnahan membaca basmalah tidak bisa diperoleh.
2. Membasuh kedua tangan sebelum memasukkannya ke dalam wadah yang digunakan untuk berwudhu.
a. Ini adalah kesunnahan bagi orang yang berwudhu dengan cara mengambil air dari wadahnya, bukan berwudhu dengan cara mengucurkan air. Jadi sebelum kita memasukkan tangan untuk mengambil air yang digunakan untuk berwudhu, maka kita disunnahkan untuk membasuh tangan kita di luar tempat itu. Kesunnahan membasuh kedua tangan ini dilakukan sebelum berkumur.
b. Kesunnahan ini adalah bila seseorang ragu atas kesucian tangannya, dan membasuhnya sebanyak tiga kali. Jadi orang yang ragu apakah tangannya suci atau najis, dia disunnahkan untuk membasuhnya sebanyak tiga kali. Kesunnahan ini hanyalah berlaku air yang digunakan berwudhu berjumlah kurang dari 2 qullah.
c. Bila seseorang tidak melakukan kesunnahan ini, dalam arti dia langsung memasukkan tangannya ke dalam air tanpa membasuh terlebih dahulu sebelumnya, maka yang dilakukan ini hukumnya makruh. Tetapi kemakruhan itu hanya berlaku bagi orang yang tidak yakin atas kesucian kedua tangannya.
3. Berkumur setelah membasuh kedua telapak tangan.
a. Untuk mendapatkan pokok kesunnahan, seseorang cukup berkumur dengan memasukkan air ke dalam mulut kemudian mengeluarkannya kembali; tidak harus diputar-putar di dalam mulut dan tidak harus dikeluarkan kembali. Artinya air yang dimasukkan ke dalam mulut untuk berkumur ini boleh ditelan, dan ini sudah cukup untuk memperoleh kesunnahan.
b. Bila seseorang ingin mendapatkan kesempurnaan kesunnahan, maka dia disunnahkan untuk mengeluarkan kembali air tersebut.
4. Memasukkan air ke dalam hidung.
a. Untuk mendapatkan pokok kesunnahan ini, maka cukup dengan cara memasukkan air ke dalam hidung; baik menariknya sampai ke pangkal hidung lalu mengeluarkannya kembali ataukah tidak.
b. Jika seseorang ingin mendapatkan kesempurnaan kesunnahan ini, maka dia disunnahkan untuk mengeluarkan kembali air yang telah masuk ke dalam hidung.
c. Di dalam kedua kesunnahan ini, yaitu berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung disunnahkan untuk mubalaghah, yaitu menyampaikan air ke tenggorokan bila berkumur dan menyampaikan air ke pangkal hidung bila istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung).
d. Antara berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung disunnahkan dengan tiga kali pengambilan air. Jadi walaupun 2 ini kesunnahannya berbeda, tetapi disunnahkan untuk mengumpulkannya. Cara mengumpulkannya yang paling utama adalah dengan cara mengambil tiga kali air. Air pertama diambil kemudian melakukan berkumur, lalu setelah itu memasukkan air ke dalam hidung, kemudian mengambil air lagi dan seterusnya hingga tiga kali. Jadi tiga kali mengambil air, dan setiap kali air yang diambil digunakan untuk melakukan berkumur dan istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung).
5. Mengusap seluruh kulit kepala atau mengusap seluruh rambut.
a. Kefardhuan yang harus dilakukan hanyalah sebagian, sedangkan untuk mendapatkan kesunnahan maka disunnahkan untuk mengusap keseluruhan. Jadi untuk mendapatkan kesunnahan mengusap rambut, seseorang disunnahkan untuk mengusap semua rambut. Dan di dalam kata ini sama terdapat dua kata yang berbeda di satu naskah dengan naskah yang lain; yaitu yang pertama menggunakan maskhu jamii’i ar-ra’si, dan yang kedua menggunakan istii’aabu ar-ra’si bil maskhi, yang artinya sama namun berbeda redaksinya.
b. Bagi seseorang yang menggunakan surban/imamah yang diikat di kepalanya, maka dia boleh melakukan kesempurnaan mengusap rambut dengan mengusap surban itu. Jadi bila ada orang yang memakai sesuatu di atas kepalanya, lalu dia ingin menyempurnakan usapan kepala, dia tidak diharuskan untuk mencopot yang ada di atas kepalanya, tetapi boleh usapan kepalanya diganti dengan mengusap barang atau benda yang ada di kepalanya.
6. Mengusap seluruh telinga.
a. Telinga yang diusap adalah bagian luar dan dalam, maksudnya adalah bagian dua sisi telinga.
b. Basuhan telinga ini disunnahkan dengan menggunakan air yang baru. Artinya bukan menggunakan air bekas dari basuhan kepala.
c. Tata cara melakukan kesunnahan ini adalah dengan cara:
1) Memasukkan jari telunjuk ke dalam lubang telinga, kemudian ibu jari diletakkan di sisi yang lain. jadi jari telunjuk digunakan untuk mengusap telinga bagian luar, dan ibu jari digunakan untuk mengusap telinga bagian dalam (yang berhadapan dengan kulit kepala).
2) Kemudian diputar sehingga antara ibu jari dan jari telunjuk menempel.
7. Menempelkan telapak tangan ke telinga.
a. Seperti kita tidak ingin mendengarkan sesuatu dan menutup telinga kita itu merupakan kesunnahan wudhu. Jadi setelah mengusap telinga disunnahkan juga untuk menempelkan kedua telapak tangan ke telinga.
8. Menyela-nyela jenggot yang tebal bagi lelaki.
a. Pada pembahasan mengenai fardhu wudhu di saat membahas tentang membasuh wajah, dijelaskan bahwa seorang lelaki yang memiliki jenggot yang tebal, dia tidak diharuskan membasuh kulit yang ada di bawahnya, tetapi disunnahkan untuk menyela-nyelai.
b. Kesunnahan menyela-nyelai jenggot ini hanya berlaku pada jenggot tebal yang dimiliki oleh lelaki. Adapun jenggot lelaki yang tipis, ataupun jenggot perempuan dan khuntsa, semuanya ini tidak lagi disunnahkan untuk menyela-nyelainya, tetapi diwajibkan. Jadi bagi selain jenggot laki-laki yang tebal ini hukumnya tidak lagi sunnah tetapi wajib. Karena memang di dalam pembahasan membasuh wajah diterangkan bahwa jenggot yang dimiliki lelaki atau khuntsa, atau jenggot lelaki yang tipis, itu hukumnya harus menyampaikan air ke kulit yang ada di bawahnya.
c. Tata cara menyela-nyelai adalah memasukkan jari tangan dari arah bawah jenggot.
9. Menyela-nyelai kedua jari tangan dan jari kaki.
a. Jari tangan dan jari kaki ini disela-selai bila memang air sudah sampai ke sela-sela jari kaki dan tangan.
b. Bila air tidak bisa sampai ke sela-sela jari tangan ataupun kaki, maka hukum menyela-nyelai tidak lagi sunnah tetapi menjadi wajib. Contohnya adalah jari seseorang yang berdekatan. Jari seseorang yang saling menempel yang tidak bisa direnggangkan, maka baginya hukumnya tidak lagi sunnah namun menjadi wajib untuk menyela-nyelanya. Hal ini karena tanpa dengan menyela-nyelai jari air tidak bisa sampai ke sela-sela jari.
c. Bila jari seseorang tidak hanya menempel tetapi sudah mendaging, artinya jari tangan atau kaki menempel dan sudah tidak bisa dipisahkan lagi karena sudah mendaging, itu tidak boleh dipisahkan/dibelah untuk tujuan menyela-nyelai.
d. Tata cara untuk menyela-nyelai jari tangan adalah dengan cara memasukkan jari tangan ke jari yang lain. jadi jari tangan kanan dimasukkan ke jari tangan kiri, dan sebaliknya. Lalu tata cara untuk menyela-nyelai jari kaki adalah menggunakan jari kelingking tangan bagian kiri kemudian disela-selai dari arah bawah sela-sela jari kaki, dan dimulai dari jari kelingking kaki bagian kanan, lalu diakhiri dengan jari kelingking kaki bagian kiri.
10. Mendahulukan anggota kanan dan mengakhirkan anggota yang kiri.
a. Seperti tangan dan kaki, membasuhnya disunnahkan untuk mendahulukan anggota yang kanan terlebih dahulu.
b. Kesunnahan membasuh bagian kanan terlebih dahulu ini hanya berlaku bagi angota wudhu yang sulit dibasuh secara bersamaan, seperti tangan dan kaki.
c. Anggota wudhu seperti pipi walaupun memiliki sisi kanan dan sisi kiri, berhubung pipi ini mudah sekali dibasuh secara bersamaan, ini tidak disunnahkan untuk mendahulukan bagian yang kanan.
11. Mengulangi basuhan/usapan sebanyak tiga kali.
• Semua anggota wudhu boleh dibasuh hanya sekali, karena kewajiban mengusap atau membasuh anggota wudhu ini cukup dilakukan hanya sekali, namun disunnahkan untuk mengulanginya tiga kali. Pada kata ini sama seperti sebelumnya, yaitu ada dua redaksi yang berbeda; yakni yang satu menggunakan الطهارة ثلاثًا ثلاثًا (ath-thohhaarotu tsalaatsan tsalaatsan), dan yang lain menggunakan التكرار (at-takroor); namun ini artinya sama, yaitu mengulangi pekerjaan wudhu sebanyak tiga kali.
12. Muwalah
a. Muwalah ini di dalam istilah kitab lain diistilahkan dengan tataabu’.
b. Maksud dari muwalah adalah tidak adanya jeda antara melakukan satu fardhu dengan fardhu yang lain. Jadi setelah membasuh wajah disunnahkan untuk langsung membasuh tangan, disunnahkan untuk langsung mengusap kepala, dan seterusnya. Ukuran dikatakan muwalah ini adalah selama basuhan sebelumnya belum kering. Misal seseorang membasuh wajah, maka sebelum wajahnya kering ia membasuh kedua tangan, maka ini sudah mendapatkan kesunnahan muwalah. Artinya bila seseorang membasuh tangan setelah basuhan wajah kering maka ini sudah tidak mendapatkan kesunnahan muwalah. Dan keringnya basuhan ini tentunya yang menjadi acuan adalah di saat suhu dan konsisi tubuh normal, serta di saat waktu yang normal; artinya waktu yang panas tentunya menjadikan basuhan cepat kering, ataupun keadaan badan yang kurang sehat itu juga berpengaruh.
c. Keringnya anggota wudhu bagi orang yang melakukan kesunnahan membasuh tiga kali, maka yang digunakan acuan adalah basuhan yang terakhir.
d. Kesunnahan muwalah ini adalah bagi orang yang normal; yakni orang yang tidak memiliki masalah dengan hadats. Berbeda dengan orang yang hadatsnya selalu keluar atau di kitab ini disebut shahibu adh-dhorurot. Misalkan ada seseorang yang kurang normal yaitu kencingnya selalu keluar atau dia sering mengeluarkan kentut, atau bagi perempuan yang mengeluarkan darah istikhadhah, maka muwalah dalam hal itu tidak lagi sunnah bagi mereka akan tetapi hukumnya berubah menjadi wajib. Jadi muwalah ini bisa memiliki hukum wajib dan sunnah tergantung siapa yang melakukan wudhu; bila yang melakukan wudhu orang normal maka hukumnya sunnah, dan bila yang melakukan wudhu adalah orang yang memiliki hadats yang tidak bisa berhenti maka hukumnya berubah menjadi wajib.
Selain yang dijelaskan di dalam kitab ini masih ada lagi beberapa kesunnahan wudhu yang lain, yang dijelaskan di dalam kitab yang lebih panjang pembahasannya.
Ditulis oleh Bayu Widianto
Panggang, 20 Oktober 2022