Pendidikan

Polemik Islam dan Radikalisme

Polemik Islam dan Radikalisme

Suharsono, S.Pd., M.Pd.

 

Pada dasarnya, agama apapun memiliki kecenderungan untuk melakukan truth claim (mengklaim sebagai yang paling benar) karena agama merupakan nilai kepercayaan yang harus dipegang teguh oleh para pemeluknya. Sikap thruth claim tersebut akan bernilai positif apabila hanya diorientasikan ke dalam (intrinsic orientation) dalam penghayatan dan aplikasinya, bukan untuk ke luar dirinya (extrinsic orientation) yang menyebabkan prasangka negatif dan konflik. Agama intrinsik memenuhi seluruh hidup dengan motivasi dan makna, sedang agama ekstrinsik menjadikan agama diperbudak untuk mendukung dan membenarkan kepentingan pribadi. (Roqib: 2009)

Memaksakan munculnya pemahaman yang sama terhadap ajaran agama sama halnya dengan meniadakan agama itu sendiri karena sikap terrsebut akan menimbulkan konflik berkepanjangan. Masing-masing pemeluk agama akan menafikan kebenaran agama yang dianut oleh orang lain dan hal ini bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Dalam sejarah telah membuktikan bahwa sikap ekslusif memunculkan pertentangan atau bahkan perselisihan antar umat beragama.

Sikap ekslusif tersebut melahirkan radikalisme dalam beragama, dan lagi-lagi Islamlah yang mendapat tudingan sebagai biang pencetus segala aksi kekerasan di berbagai belahan dunia. Di satu sisi mungkin
pendapat ini bisa dianggap benar, karena sebagian besar tindakan terorisme tersebut dilakukan oleh orang (yang mengaku) Islam. Mereka berasumsi bahwa sikap tersebut adalah manifestasi jihad dan balasannya adalah surga.

Namun di sisi lain, mereka tidak menyadari bahwa tindakan tersebut adalah dampak dari pemahaman yang parsial terhadap teks keagamaan sehingga diaplikasikan dalam tindakan yang jauh dari makna kontekstual yang diharapkan.

Radikalisme dalam agama ibarat pisau bermata dua, di satu sisi, makna positif dari radikalisme adalah spirit menuju perubahan ke arah lebih baik yang lazim disebut ishlah (perbaikan) atau tajdid (pembaharuan). Dengan begitu radikalisme bukan sinonim ektrimitas atau kekerasan, ia akan sangat bermakna apabila dijalankan melalui pemahaman agama yang menyeluruh dan diaplikasikan untuk ranah pribadi. Namun di sisi lain, radikalisme akan menjadi berbahaya jika sampai pada tataran ghuluw (melampaui batas) dan ifrath (keterlaluan) ketika dipaksakan pada pemeluk agama lain.

 

Referensi

Emna Laisa, “Islam dan Radikalisme”, Jurnal Islamuna Vol. 1 No. 1 Tahun 2014

Moh. Roqib, 2009 Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah,
Keluarga, dan Masyarakat,Yogyakarta: LkiS.

Yogyakarta, 28 November 2022

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button