Belajar Islam

Fathul Qorib: Najis Anjing dan Babi serta Cara Mensucikannya

NAJIS ANJING DAN BABI

والحيوان كله طاهر إلا الكلب والخنزير وما تولد منهما أو من أحدهما، أي مع حيوان طاهر. وعبارته تصدق بطهارة الدود المتولد من النجاسة، وهو كذلك

Semua hewan hukumnya suci kecuali anjing dan babi, dan juga anak yang lahir dari perkawinan antara dua hewan tersebut, atau dari perkawinan silang antara salah satu dari keduanya yang kawin dengan hewan suci. Pilihan kalimat yang dipilih oleh pengarang Fath al-Qarib ini memberitahukan bahwa cacing yang lahir dari benda najis hukumnya suci; dan itu memang sesuai dengan kenyataan hukum fikih syafi’i. Artinya kalau yang dikecualikan hanyalah anjing, babi, dan anak dari keduanya, maka cacing yang terlahir dari benda najis hukumnya tidak termasuk pengecualian; dalam arti hukumnya suci seperti hewan yang lain.

(والميتة كلها نجسة إلا السمك والجراد والآدمي). وفي بعض النسخ «ابن آدم» أي ميتة كل منها، فإنها طاهرة

Semua bangkai makhluk hidup hukumnya najis kecuali tiga bangkai, yaitu bangkai ikan, belalang, dan jenazah manusia. Dan disebagian salinan/manuskrip tidak menggunakan kata “aadamii”, tetapi menggunakan kata “ibnu aadam”; yang keduanya memiliki arti yang sama yaitu manusia.

تطهير الإناء

ويُغسل الإناءُ من وُلوغ الكلب والخنزير سبعَ مرات بماء طهور، (إحداهن) مصحوبة (بالتراب) الطهور يعم المحل المتنجس؛ فإن كان المتنجس بما ذكر في ماء جار كدِر كفى مرور سبع جريات عليه بلا تعفير. وإذا لم تزل عينُ النجاسة الكلبية إلا بست غسلات مثلا حسبت كلها غسلة واحدة. والأرض الترابية لا يجب التراب فيها على الأصح

TATA CARA MENSUCIKAN BEJANA/WADAH YANG TERKENA NAJIS

Khusus untuk dua jenis najis yaitu najis dari anjing atau babi, maka:

  1. tidak cukup dengan satu basuhan, akan tetapi harus dibasuh sebanyak tujuh basuhan, dan salah satu basuhan itu dicampuri dengan tanah/debu yang suci, yang basuhan itu menyeluruh di semua benda yang terkena najis anjing atau babi.
  2. Jika najis itu berada di dalam air yang mengalir dan keruh dikarenakan ada campuran tanah/debu, maka cukup dengan mengalirkan air sebanyak tujuh kali aliran; dalam arti tidak perlu adanya campuran debu karena memang air yang melewati benda najis itu sudah terdapat debu yang mencampuri.
  3. Hitungan tujuh kali basuhan itu tentunya setelah hilangnya benda najis yang terdapat di campuran satu benda. Dalam arti sebelum benda najis itu hilang, maka berapapun basuhan yang dilakukan masih dihitung satu basuhan.
  4. Apabila yang terkena najis adalah tanah yang memiliki debu, maka tidak diharuskan untuk mencampuri debu beserta air; cukup tujuh kali basuhan, dan ini menurut pendapat yang lebih kuat.

ويغسل من سائر أي باقي (النجاسات مرة واحِدة) وفي بعض النسخ «مرة» (تأتي عليه؛ والثلاث) وفي بعض النسخ «والثلاثة» بالتاء (أفضل)

Untuk najis yang lain selain najis anjing dan babi, maka ini tidak diharuskan melakukan tujuh kali basuhan, akan tetapi cukup satu kali basuhan. Dan basuhan yang digunakan untuk menyiram benda najis selain dari anjing dan babi, ini diharuskan merata di semua yang terkena najis. Namun walaupun satu kali basuhan sudah bisa mensucikan, tetapi disunnahkan untuk melakukan sebanyak tiga kali basuhan.

واعلم أن غسالة النجاسة بعد طهارة المحل المغسول طاهرة إن انفصلت غير متغيرة ولم يزد وزنها بعد انفصالها عما كان بعد اعتبار مقدار ما يتشربه المغسول من الماء. هذا إن لم يبلغ قلتين؛ فإن بلغهما فالشرط عدم التغير

Ini membahas tentang air yang telah digunakan untuk mensucikan najis. Jadi seandainya ada lantai yang terkena najis, kemudian lantai tersebut disucikan dengan cara dibasuh menggunakan air, maka air yang telah digunakan untuk membasuh itu hukumnya suci dengan syarat lantai yang dibasuhnya sudah menjadi suci. Jadi setelah air terpisah dari benda yang terkena najis, maka hukum air itu menjadi suci apabila memang airnya tidak berubah dan timbangannya tidak bertambah. Tentunya seperti di dalam pembahasan awal kitab, bahwa timbangan yang tidak berubah ini setelah mempertimbangkan air yang terserap oleh benda yang disiramnya. Lalu dua catatan tadi, yakni tidak adanya perubahan dan tidak bertambahnya bobot/timbangan air ini hanya berlaku bagi air yang kurang dari dua qullah. Sedangkan air yang banyak/lebih dari dua qullah, maka syaratnya hanyalah satu, yaitu tidak adanya perubahan air setelah digunakan untuk membasuh benda najis.

تخلل الخمر

ولما فرغ المصنف مما يطهر بالغسل شرَع فيما يطهر بالاستحالة، وهي انقلاب الشيء من صفة إلى صفة أخرى؛ فقال: (وإذا تخللت الخمرة)؛ وهي المُتخَذة من ماء العنب، محترمةً كانت الخمرة أم لا. ومعنى تخللت صارت خلاًّ، وكانت صيرورتها خلا (بنفسها طهرت). وكذا لو تخللت بنقلها من شمس إلى ظل وعكسه، (وإن) لم تتخلل الخمرة بنفسها بل (تخللت بطرح شيء فيها لم تطهر). وإذا طهرت الحمرة طهر دَنُّها تبعا لها

Setelah pengarang kitab ini menjelaskan tentang hal-hal yang bisa suci dengan cara dibasuh, lalu beliau melanjutkan pembahasan mengenai hal-hal yang bisa suci dengan cara istikhaalah. Istikhaalah adalah perubahan satu benda yang berubah dari satu sifat ke sifat yang lain. Jadi ada dua benda najis yang bisa menjadi suci, yaitu khamer atau perasan anggur yang memabukkan setelah menjadi cuka, baik jenis khamer yang dimuliakan maupun tidak.

Catatan:

  • Khamer ini ada dua jenis, yaitu jenis yang dimuliakan dan tidak dimuliakan. Kedua jenis ini tidak mempengaruhi hukum kesuciannya setelah berubah menjadi cuka.
  • Khamer yang dimuliakan adalah khamer yang memang diperas tidak untuk dibuat mabuk-mabukan (agar berubah menjadi cuka). Jadi yang menjadi pembahasan di dalam bab ini adalah selama khamer berubah menjadi cuka, maka hukumnya yang asalnya najis menjadi suci.
  • Dan perubahan khamer ke cuka tidak boleh ada campur tangan manusia, dalam artian harus berubah dengan sendirinya.
  • Perubahan yang tanpa ada campur tangan manusia, artinya adalah perubahan secara alami. Artinya apabila perubahan khamer ini dikarenakan dicampur dengan sesuatu, maka tidak bisa berubah menjadi suci.
  • Namun apabila mempercepat perubahan menjadi cuka dengan cara dipindahkan dari panasnya matahari ke tempat yang teduh atau sebaliknya, maka ini tetapi bisa menjadikan khamer suci setelah berubah menjadi cuka.
  • Seperti yang telah dijelaskan tadi bahwa jika khamer atau perasan anggur tidak menjadi suci dengan sendirinya akan tetapi menjadi cuka dengan cara melemparkan mencampuri benda di dalamnya, maka hukum khamer tidak lagi menjadi suci walaupun sudah menjadi cuka.
  • Setelah khamer menjadi suci, maka secara otomatis wadah yang digunakan untuk tempat khamer juga ikut menjadi suci.

Sumber: Muhammad bin Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib Fii Syarh Alfaadz Taqriib : al-Qaul al-Mukhtaar Fii Syarh Ghaayah al-Ikhtishar, hlm. 11.

Ditulis oleh Bayu Widianto

Panggang, 08 November 2022

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button