Belajar Islam

Fathul Qorib: Mengusap Khuf (Sepatu)

(فصل في مسح على الخفّين)

والمسح على الخفين جائز في الوضوء، لا في غسل فرض أو نفل، ولا في إزالة نجاسة. فلو أجنب أو دميت رجله فأراد المسح بدلًا عن غسل الرجل لم يجز، بل لابد من الغسل. وأشعر قوله “جائز” أن غسل الرجلين أفضل من المسح

PASAL MENGUSAP KHUF/SEPATU

Mengusap kedua kaos kaki atau sepatu diperbolehkan sebagai pengganti wudhu saja.

Catatan:

  1. tidak semua basuhan kaki bisa digantikan dengan mengusap sepatu; artinya mengusap sepatu ini tidak bisa sebagai pengganti dari mandi besar ataupun mandi sunnah, dan juga tidak bisa menggantikan menghilangkan najis.
  2. Maka dari itu andai kata terdapat seseorang yang junub (memiliki hadats besar) dan kakinya berdarah, lalu dia mengusap sepatu/kaos kaki yang dipakainya dengan tujuan sebagai pengganti membasuh kaki, maka usapan itu tidak diperbolehkan. Dalam arti dia harus mencopot sepatu atau kaos kaki yang dipakai dan harus membasuh kaki yang sedang berdarah untuk mensucikan darah tersebut atau untuk menghilangkan hadats besar yang ada di kaki.
  3. Di dalam kata yang dipilih oleh pengarang taqrib; yaitu kata “jaaizun”, ini memberikan kefahaman/isyarat kepada kita bahwa perbandingan antara hukum mengusap sepatu dan membasuh kedua kaki ini lebih utama membasuh kedua kaki. Jadi membasuh kedua kaki di saat wudhu lebih baik daripada mengusap sepatu, walaupun keduanya boleh dilakukan.

وإنما يجوز مسح الخفين لا أحدهما فقط إلا أن يكون فاقد الأخرى (بثلاثة شرائط): (أن يبتدئ) أي الشخص (لبسهما بعد كمال الطهارة)، فلو غسل رجلًا وألبسها خفها ثم فعل بالأخرى كذٰلك لم يكف، ولو ابتدأ لبسهما بعد كمال الطهارة ثم أحدث قبل وصول الرِّجْل قدمَ الخف لم يُجْزِ المسح

وأن يكونا أي الخفان (ساترين لمحل غسل الفرض من القدمين) بكعبيهما؛ فلو كانا دون الكعبين كالمداس لم يكفِ المسح عليهما. والمراد بالساتر هنا الحائل، لا مانع الرؤية، وأن يكون الستر من أسفل ومن جوانب الخفين، لا من أعلاهما؛ (وأن يكونا مما يمكن تتابع المشي عليهما) لتردد مسافر في حوائجه من حط وترحال

Tidak diperbolehkan seseorang hanya membasuh satu kaki sedangkan kaki yang lain hanya mengusap mozah. Artinya jika seseorang membasuh kaki maka keduanya harus dibasuh. Begitu pula saat mengusap mozah dia tidak boleh hanya satu, kecuali bila memang seseorang tidak memiliki kaki (kakinya hanya satu), maka ketika itu diperbolehkan baginya untuk mengusap mozah/sepatu. Maka di sini ada tiga syarat kebolehan mengusap mozah/sepatu, yaitu:

  1. Seseorang yang ingin mengusap mozah/sepatu sebagai ganti dari membasuh kaki, maka dia harus memakai mozah dalam keadaan suci.

Catatan:

  • Sebelum ia menyempurnakan bersucinya, dia tidak diperbolehkan menggunakan mozah agar ia memperoleh kebolehan mengusap mozah. Jadi andaikata dia melakukan wudhu untuk syarat mengusap mozah, dan wudhu itu baru sampai pada kaki kanannya, kemudian dia memakai mozah kanan, lalu dia melanjutkan membasuh kaki kiri dan memakai mozah kiri, ini hukumnya tidak mencukupi syarat. Artinya mozah yang dipakai belum setelah sempurnanya bersuci. Karena memang syarat pertama mozah harus dipakai setelah seseorang sempurna bersuci
  • Seseorang yang sudah memakai kedua mozah setelah ia bersuci, namun sebelum kakinya sampai ke bagian bawah mozah dia batal, maka itu juga tidak mencukupi syarat.
  1. Kedua mozah harus menutupi tempat kefardhuan membasuh kaki, yaitu hingga mencapai kedua mata kaki.

Catatan:

  • Apabila mozah tidak menutupi kedua mata kaki, maka hal ini tidak memenuhi syarat.
  • Yang dimaksud saatir adalah sesuatu yang bisa menghalangi air sampai ke kulit.
  • Saatir (sesuatu yang menghalangi air) ini hanya disyaratkan di bagian bawah, samping, dan tidak disyaratkan dibagian atas, karena memang bagian atas ini tempat masuknya kaki. Artinya syarat ini memberitahukan kepada kita bahwasannya bahan mozah/sepatu ini tidak boleh bahan yang sembarangan, tetapi bisa menghalangi air sampai ke kulit.
  1. Mozah harus bisa dipakai untuk berjalan untuk melakukan kebutuhan-kebutuhan yang dibutuhkan oleh musafir baik di saat perjalanan maupun di saat transit.

ويؤخذ من كلام المصنف كونهما قويين بحيث يمنعان نفوذ الماء. ويشترط أيضا طهارتهما

Dari syarat tersebut dapat kita pahami bahwa mozah yang digunakan harus mozah yang kuat. Gambaran mozah yang kuat adalah  kedua mozah itu bisa menghalangi sampainya air ke kulit kaki. Dan ini tambahan syarat yang ditambahkan oleh pengarang Fathul Qorib, yaitu selain tiga syarat tadi disyaratkan juga mozah yang dipakai adalah mozah yang suci. Artinya mozah yang bahannya diambil dari benda yang najis ini tidak bisa memenuhi syarat.

ولو لبس خفًّا فوق خف لشدة البرد مثلا؛ فإن كان الأعلى صالحا للمسح دون الأسفل صح المسح على الأعلى؛ وإن كان الأسفل صالحا للمسح دون الأعلى فمسح الأسفل صح أو الأعلى فوصل البلل للأسفل صحَّ إن قصد الأسفل أو قصدهما معا، لا إن قصد الأعلى فقط؛ وإن لم يقصد واحدا منهما، بل قصد المسح في الجملة أجزأ في الأصح

Apabila seseorang memakai mozah doubel maka bagaimanakah hukumnya? Jadi terkadang seseorang pada jaman dahulu, pada jaman Rasulullah, dikarenakan sangat dinginnya suhu, maka untuk mengurangi kedinginan tersebut seseorang tidak hanya memakai satu mozah tetapi memakai dua mozah yang doubel. Maka dalam hukum fikih kasus seperti ini diperinci, yaitu:

  1. Apabila bagian luar mencukupi syarat dan bagian dalam tidak mencukupi syarat, maka hukumnya sah bila yang diusap bagian luar.
  2. Apabila bagian dalam memenuhi syarat dan bagian luar tidak memenuhi syarat, maka ini hukumnya juga sah jika memang yang diusap bagian dalam.
  3. Atau yang diusap adalah bagian luar, tapi air masuk sampai ke dalam, dan dia memang bertujuan untuk mengusap bagian dalam, atau bertujuan untuk mengusap keduanya. Artinya bila dia hanya bertujuan mengusap yang bagian luar saja, walaupun airnya sampai ke dalam, maka ini hukumnya tidak sah.
  4. Apabila bagian luarnya tidak memenuhi syarat dan bagian dalam memenuhi syarat, lalu dia mengusap bagian luar dan air sampai ke dalam, tetapi dia tidak ada tujuan mengusap salah satunya (asal mengusap), maka ini hukumnya khilaf. Menurut pendapat yang paling tepat hukumnya adalah sah atau diperbolehkan atau mencukupi syarat.

BATASAN WAKTU MENGUSAP KHUF/SEPATU

ويمسح المقيمُ يوما وليلة، و) يمسح (المسافرُ ثلاثة أيام بلياليهن) المتصلة بها، سواء تقدمت أو تأخرت

وابتداء المدة تحسب (من حين يحدث) أي من انقضاء الحدث الكائن (بعد) تمام (لبس الخفين)، لا من ابتداء الحدث، ولا من وقت المسح، ولا من ابتداء اللبس. والعاصي بالسفر والهائم يمسحان مسح مقيم

ودائم الحدث إذا أحدث بعد لبس الخف حدثًا آخر مع حدثه الدائم قبل أن يصلي به فرضا يمسح ويستبيح ما كان يستبيحه. لو بقي طهره الذي لبس عليه خفيه، وهو فرض ونوافل؛ فلو صلى بطهره فرضا قبل أن يحدث مسح واستباح النوافل فقط

فإن مسح الشخص (في الحضر ثم سافر أو مسح في السفر ثم أقام) قبل مضي يوم وليلة (أتم مسح مقيم)

والواجب في مسح الخف ما يُطلَق عليه اسم المسح إذا كان على ظاهر الخف. ولا يجزئ المسح على باطنه، ولا على عقب الخف، ولا على حِرفه، ولا على أسفله. والسنة في مسحه أن يكون خطوطا، بأن يفرج الماسح بين أصابعه ولا يضمها

Walaupun hukum mengusap mozah ini bisa menggantikan membasuh kaki, dalam arti bisa menghilangkan hadats, tetapi ini adalah bentuk bersuci yang memiliki batas waktu. Jadi tidak seperti wudhu pada umumnya, tidak seperti membasuh kaki yang selama tidak ada sesuatu yang membatalkan wudhu masih bisa menghilangkan hadats, namun mengusap mozah ini walaupun bisa menghilangkan hadats tetapi memiliki batas waktu. Dan batas waktu ini dibedakan antara orang yang tidak bepergian dan orang yang bepergian; yaitu:

  • Bagi orang yang tidak bepergian memiliki batas waktu 24 jam. Sehingga setelah 24 jam dia sudah tidak diperbolehkan lagi melakukan ibadah dengan usapan mozah. Artinya bila dia ingin kembali mengusap mozah dia harus mencopotnya kemudian memakainya kembali.
  • Bagi orang yang di dalam perjalanan/orang yang bepergian/musafir, dia memiliki batas waktu 3 x 24 jam (tiga hari tiga malam).
  • Permulaan dimulai hitungan waktu batas mozah adalah setelah selesainya hadats. Jadi sebelum seseorang memakai mozah dia disyaratan dalam keadaan wudhu yang sempurna. Kemudia setelah dia memakai dua mozah dan dia wudhunya batal, maka batalnya wudhu yang menjadi syarat pemakaian mozah disitulah dimulai awal mula waktu. Jadi detik pertama dimulai dari berhentinya hadats setelah sempurnya memakai mozah. Jadi misalkan seseorang berwudhu dan setelah berwudhu ia memakai mozah, setelah memakai mozah lalu dia tidur Kapankah waktu memulai hitungan durasi mozah tersebut? Maka waktu menghitung pertama kali durasi mozah adalah di saat dia bangun. Jadi hitungannya tidak pertama hadats (awal tidur), tetapi di saat selesai hadats. Berarti kalau contohnya tidur adalah setelah dia bangun dari tidur. Jadi permulaan waktu ini tidak dihitung dari permulaan hadats dan tidak pula dihitung dari waktu mengusap, dan juga tidak dihitung dari permulaan memakai mozah, tetapi dihitung dari selesainya hadats.
  • Ada dua orang walaupun dia musafir akan tetapi dia tidak mendapatkan durasi 3 x 24 jam seperti musafir pada umumnya. Dia berdua adalah:
  1. Seorang yang bepergian akan tetapi perjalanannya tidak diperbolehkan oleh syariat. Misalnya ada orang yang pergi dengan tujuan untuk bermaksiat (untuk merampok/mencopet/yang lain).
  2. Atau seseorang yang pergi akan tetapi dia tidak memiliki tujuan yang jelas.

Kedua orang tersebut (maksiat atau tidak ada tujuan), walaupun mereka bepergian mereka hanya diperbolehkan untuk mengusap mozah selama 24 jam.

Catatan:

  • Khusus untuk seseorang yang memiliki hadats yang tidak bisa berhenti, maka dia memiliki hukum yang sama seperti saat dia tidak memakai mozah. Misalnya ada daaimul hadats (hadats seseorang yang kencingnya selalu keluar), kemudian ia berwudhu, setelah dia wudhu dia memakai dua mozah. Nah setelah dia memakai dua mozah, bila dia terkena hadats yang lain selain penyakitnya, dan dia melakukan itu sebelum dia melakukan shalat fardhu, maka dia hanya diperbolehkan melakukan satu shalat fardhu, dan dia hukumnya sama seperti saat dia tidak memakai mozah; yaitu hanya diperbolehkan satu kali wudhu dan satu kali melakukan shalat fardhu. Namun untuk shalat sunnah ini tidak ada batasnya.
  • Bila dia shalat (fardhu) dengan wudhunya yang sebagai syarat memakai mozah, kemudian setelah dia melakukan shalat fadhu dia berwudhu yang kedua dengan cara mengusap mozah, maka dia tidak diperbolehkan lagi melakukan shalat fardhu. Intinya adalah orang yang hadatsnya tidak bisa berhenti, dia hukumnya hanya bisa melakukan satu shalat fardhu.
  • Ada orang yang di awal mula memakai mozah dia berstatus sebagai musafir, kemudian sebelum melewati 24 jam dia sudah berada di rumah. Atau sebaliknya; di saat dia memakai mozah dia berada di rumah, tapi sebelum melewati 24 jam dia pergi. Maka orang yang memiliki dua status ini, yaitu mukim dan musafir, bila memang dia belum melewati 24 jam, maka dia hanya diperbolehkan mengusap selama 24 jam. Artinya statusnya sebagai musafir ini tidak bisa dia dapatkan bila memang berstatus ganda.
  • Dan tata cara mengusap mozah adalah selama seseorang masih dikatakan mengusap kalau memang yang diusap adalah bagian luar, sehingga bagian dalam ini tidak sah untuk diusap. Jadi bagian mozah yang sah untuk diusap adalah bagian luar dan atas mozah; berarti ini mengecualikan bagian samping, bawah, tumit, dan dalam.
  • Mengenai kesahan mengusap ini tidak ada tata cara; yang penting ada bentuk usapan itu sudah bisa mengesahkan mengusap mozah.
  • Yang ada tata caranya adalah kesunnahan mengusap. Tata cara kesunnahan mengusap mozah adalah dengan cara bergaris-garis, yaitu pada saat mengusap mozah seseorang tidak mengumpulkan jarinya tetapi merenggangkan jarinya, kemudian dengan jari yang terenggang tersebut mozahnya diusap.

Sumber: Muhammad bin Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib Fii Syarh Alfaadz at-Taqriib : al-Qaul al-Mukhtaar Fii Syarh Ghaayah al-Ikhtishar, hlm. 8.

Ditulis oleh Bayu Widianto

Panggang, 27 Oktober 2022

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button